Pernah suatu ketika teman bilik saya bercerita, “Kalau pulangan, yang seru saat naik bis. Baju putih dilepas, serasa bukan santri!” Dari perkataan itu, saya dapat menebak suatu penyebab perubahan sikap santri saat liburan.
Padahal, liburan atau tidak, masyarakat tetap melihat “jidat” kita berlabel santri. Sebab, keasingan kita di kampung halaman menarik “mata” masyarakat.
Semua tindak-tanduk kita, akan diawasi dengan ketat. Persis seperti melihat suatu yang mencurigakan. Sehingga dari sanalah kita tertantang untuk membuktikan bahwa “kita tetap santri!”
Jaim (baca: jaga image) adalah ritual yang harus kita kerjakan. Minimal dengan mengerjakan semua rutinitas pesantren. Dengan kata laian, tetap mentaati undang-undang yang ada di pesantren. Mulai dari kewajiban hingga larangan.
Jamaah dalam shalat, istikamah membaca al-Quran, dan senantiasa muthala’ah, harus tetap kita lakukan di rumah. Tidak hanya menjaga keistikamahan kita, akan tetapi hal itu menjaga keharuman aroma pesantren. Sehingga, masyarakat “luar” tak ada yang beranggapan miring pada pesantren.
Jangan kira masyarakat menanggapi kita sebagai sosok “bersih”. Buktinya, celotehan, “jaringan lemot, dampak pulangan pondok!” Atau, “jalan macet, gara-gara ulah santri” dan kicuan-kicauan miring lainnya berserakan disana-sini. Komentar semacam itulah sebenarnya “suara peluit” dimulainya pertandingan. Ya, pertandingan kaum sarungan melawan masyarakat “luar”.
Kita tertantang agar melakukan “tendangan” pada ediologi itu. Agar perkataan mereka berubah 180c derajat. Bukan malah melakukan “goal bunuh diri” yang mengakibatkan tercemarnya cita-rasa pesantren. Yang menjadikan minimnya orang belajar Agama. Akhirnya, Agama Islam pergi dari bumi pertiwi. Na’udzubillah!
Untuk itu, wajib hukumnya bagi santri, memakai “sarung”-nya ketika pulangan. Hal ini demi tercapainya visi dakwah Islam secara hakiki, yakni, i’lâ’ kalimâtil-Lah, mengagungkan syiar Agama.
Allahu-Akbar!
Muhammad ibnu Romli | sidogiri.net