Al-Habib Muhammad Ali bin Taufiq Baroqbah, musnid hadis dari Surabaya didatangkan untuk menjadi narasumber dalam acara dikusi panel yang mengangkat tema “Polemik Hijab antara Dogma dan Budaya”, pada malam senin (25/08).
Sebagai muslim dan mukmin, ketundukan kepada aturan Allah merupakan suatu konsekuensi dan keniscayaan sebagai bukti kepercayaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Di antara kewajiban yang Allah firmankan adalah perintah menutup aurat. Tentu ketundukan ini termasuk ibadah. Namun di sisi lain perintah menutup aurat tidak lepas dari pakaian yang merupakan kebudayaan dan peradaban manusia yang dipengaruhi oleh faktor sosial budaya masyarakat.
Di tengah-tengah semangat muslimah secara khusus untuk mengikuti perintah Allah tersebut, ada sebagian orang yang ingin menarik perintah tersebut ke sisi budaya secara murni, dan menafikan unsur ibadahnya. Sehingga menimbulkan pertanyaan bagi muslimah yang belum mendalam wawasannya tentang keislaman, apakah pakaian yang mereka pakai untuk menutup aurat, baik yang disebut jilbab, kerudung atau hijab, selama ini hanya produk budaya?.
Menurut Habib Muhammad Ali bin Taufiq Baroqbah, fitrah manusialah yang membuat berbeda-bedanya mereka dalam menentukan batas berpakaian tersebut, antara dalil naqli, aqli dan hawa nafsu serta godaan setan. Sehingga latar belakang menutup aurat adalah ibadah Rabbaniyah yang bersinggungan dengan fitrah basyariyah, “Di antara wasilah setan dan bala tentaranya adalah memisahkan unsur ubudiyah menutup aurat dan menerapkannya sebagai adat agar mudah dipermainkan oleh hawa nafsu.” Terang Mudir Madrasah Diniyah Banin Al-Khairiyah, Surabaya ini.
“Memang di sisi lain syariat memberi porsi pada adat, yang bisa kita dapati pembahasan dan ketentuan seberapa jauh adat itu digunakan dalam hukum syariat” lanjut beliau, yakni ketika membahas Kaidah ‘al-Adah Muhakkamah’. Sehingga merupakan segala sesuatu yang datang secara mutlak dalam syariat lalu tidak ada ketentuan syariatnya dan tidak juga dalam secara lughawi maka dikembalikan pada uruf atau adat. Namun dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan.
Bukti bahwa hijab adalah dogma dalam syariat Islam, adalah ayat-ayat yang tercantum dalam al-Quran dan hadis. Dalam al-Quran dan hadis banyak ditemukan kata dan istilah yang bermacam-macam, di antara istilah-istilah tersebut adalah: Hijab, Khimar dan jilbab.
Ayat yang menyangkut hijab dan perintah menutup aurat adalah dalam surah al-Ahzab, ayat59: Artinya, “Wahai Nabi! Katakanlah pada istri-istrimu, anak-anakmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaknya mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu agar lebih mudah dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Imam al-Qurtuby dan ath-Tobari sepakat bahwa makna ayat itu adalah perintah bagi istri-istri Nabi dan wanita mukminah yang merdeka untuk menutupi seluruh badan mereka dengan jilbab sebagai pakaian luar, agar dikenali bahwa mereka wanita merdeka sehingga tidak disangka hamba sahaya perempuan, sehingga mereka aman dari gangguan dari orang-orang munafik. Namun mereka sama-sama mengetengahkan perbedaan cara menutup tubuh dengan jilbab yaitu:
- Menyelimutkannya hingga menutupi wajah dan dada serta bagian tubuh lainnya kecuali satu mata yang digunakan untuk melihat.
- Sebagian lainnya mengecualikan separuh wajah, meskipun terlihat kedua matanya.
Lebih lanjut lagi imam al-Qurtuby menjelaskan bahwa, syarat pakaian itu tidak tidak boleh mensifati lekuk tubuh atau kulit pemakainya.
Kesimpulan dari penjelasan Habib Muhammad Ali bin Taufiq Baroqbah adalah, kewajiban menutup aurat merupakan ibadah untuk mengikuti perintah Allah, namun juga ada unsur kebiasaan atau fitrah manusia yang mana unsur inilah yang sering dimanfaatkan oleh sebagian kelompok untuk menjadikan masalah hijab murni adat. Di antaranya dengan mengaburkan celah keluasan syariat Islam.
______
Penulis: Kanzul Hikam
Editor: Saeful Bahri bin Ripit