Artikel

Berkah Sungai Sidogiri

Saat itu Belanda mengepung Pondok Pesantren Sidogiri (PPS). Para thullâb bergegas melindungi kiainya. Satu-persatu gugur. Hingga irama nyawa tak lagi terdengar.
Tapi masih ada satu orang yang bertahan. Beliau adalah KH Abd. Jalil bin Fadhil, pengasuh PPS pada saat itu. Tak satu pun santri yang mampu melindunginya. Puluhan tentara belanda memergokinya.
Tapi, lesatan kerisnya sangat licah. Tak ada seorang pun tentara yang mampu mendekat. Hingga… “Dor!” Tembakan menggaung di atas lisan sucinya. Beliau syahid dan terbuang di Sungai Sidogiri.
Risau semua hati santri. Mengkhawatirkan kabar maha gurunya. Semerebak seribu bunga mengambang di atas Sungai Sidogiri. Kayaknya, ada yang aneh dengan sungai itu!
Beberapa santri dan segelintir warga menelitinya. Ternyata, jasad sang maha guru mengambang di sana. Semua santri berduka cita.
Sejak tragedi tersebut, gelar ‘barokah’ disandangkan kepada sungai itu. Beribu-ribu santri menceburkan diri, demi mendapat barokah. Berbagai aktivitas mengalir disana. Seperti mandi, berenang, wudhu’, qadhil-hajah bahkan sikat gigi. Semua itu karena istilah ‘barokah’.
Bertahun-tahun ritual itu berlangsung. Hingga slogan “Bukan santri Sidogiri, bagi yang belum merasakan sungainya” populer di telinga kita. Mengingat selain ilmu manfa’at, barokahlah yang mereka impikan.
Entah berapa tahun sungai itu begitu mulya. Hingga akhirnya tercap menjadi markas salah satu gangstar ‘terganas’, yaitu BONAIS (bocah nakal ingin sukses). Sejak itulah barokah mulai terkikis.
Kini, malah kata ‘jijik’ yang disandangnya. Tak seorangpun merelakan tubuhnya mandi di sana. Entah gelar ‘barokah’ hanyut kemana. Padahal tak ada beda antara Sidogiri sekarang dengan Sidogiri dulu.
Beberapa tindakan pun diluncurkan, demi melestarikan barokah Sungai Sidogiri. Mulai dari hukuman menguras sungai, hingga program rutin yang diadakan kesehatan.
Tapi entah, jerih payah begitu sia-sia. Sungai Sidogiri tetap kumuh dan kotor. Tak ada orang yang mandi di sana. Bahkan berak pun tak ada.
Meski begitu, bukankah hal yang seperti itu yang patut kita gelari ‘barokah’. Bahkan seharusnya kita tetap membudayakan tradisi zaman dahulu. Sebab kini sungai itu lebih banyak barokahnya. Barokah bukanlah perkara yang enak. Barokah adalah perkara yang menyamarkan keenakan. Lebih tepatnya istilah “Di balik kesusahan tersimpan kemudahan”. Maka dari itu, tunggu apa lagi?

Muhammad ibnu Romli/Sidogiri.Net

Shares:
Show Comments (1)

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *