Terkadang kita mendengar pernyataan, “Mempelajari sihir demi kebaikan”. Perkataan itu tidak salah, akan tetapi, tidak benar juga. Lebih jelasnya, simaklah firman Allah di bawah ini,
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak melakukan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mangerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babîl yaitu Harut dan Marut, sedangkan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan: ‘Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu) sebab itu janganlah kamu kafir.’ Maka, mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudarat dengan sihirnya kepada seorang pun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudarat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 102).
Dari ayat di atas Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam bukunya Jin, Iblis, Setan dan Malaikat yang Tersembunyi menyimpulkan pembagian hukum pada sihir itu sendiri, White Magic dan Balck Magic.
Keduanya sama-sama menggunakan pelantara jin. Akan tetapi, proses penghasilannya tidak sama. Black Magic identik dengan proses yang kotor. Lumrahnya, dengan menodai Kitab Suci dengan beragam najis. Sedangkan White Magic lebih mengarah pada ritual suci. Lebih tepatnya, perkara yang mendapat legalitas syariah. Dari pembagian itu, terpilah pula hukumnya, adayang haram—bahkan kafir—ada juga yang halal.
Akan tetapi, jika “meneropong” pada kutubut-turâts, kita akan menemukan penentangan ulama pada pemilahan tersebut. Bahkan mayoritas pendapat melarang menggunakan sihir secara mutlak alias dengan alasan apapun. Lebih luasnya, bisa Anda lihat di dalam kitab Ahkâmul-Qur’ân.
Akan tetapi—jika lebih teliti—yang melatar-belakangi perbedaan itu hanyalah perbedaan definisi pada sihir itu sendiri. Ulama yang berpendapat haram secara mutlak—termasuk Ibnu ‘Araby—mendefinisikan sihir dengan: ucapan yang mengandung pengagungan kepada selain Allah yang dipercaya—oleh pengamalnya—dapat menghasilkan sesuatu dengan kadar-kadarnya. Maka sudah jelas, hal itu dilarang Agama.
Walhasil, esensi pemilahan hukum sihir memamang benar adanya. Bahkan dalam Risâlah al-Lu’lu’ wal-Marjân fî Tafsîr Mûlûk al-Jân dijelaskan bahwa, sebagian ayat-ayat di al-Quran diyakini menyebabkan malaikat untuk menyuruh jin melayani kepada si pembaca. Dan inilah yang dimaksud White Magic oleh Prof Dr. M. Quraish Shihab.
Tidak hanya ayat al-Quran. Imam Ghazali pun dalam otobiografinya yang berjudul al-Munqîdz minadh-Dhalâl memaparkan bahwa sebagian Hisâb al-Jumâl juga memiliki kekuatan mujarrab.
Dari pemaparan di atas, mungkin cukup menjadi penengah, agar tidak saling menyalahkan. Bagi yang hobi dunia mistik, ya, silahkan. Bagi yang tidak suka, jangan komentar. Sekian!
Muhammad ibnu Romli/sidogiri.net
[…] masa rasul sebelum Nabi Muhammad, keberadaan sihir sering menjadi rival tandingan dari mukjizat yang dimiliki oleh seorang rasul. Sebagai contoh […]