Untuk kesekian kalinya KH. Ahmad Bahauddin Nur Salim kembali mengisi kajian tafsir di Pondok Pesantren Sidogiri pada malam Kamis (29/01). Bertempat di ruang auditorium sekretariat lantai II, acara ini dihadiri oleh keluarga muda Pondok Pesantren Sidogiri. Pada kajian kali ini beliau menjelaskan mengenai metode penafsiran Syekh Izzuddin bin Abdissalam yang memunculkan kaedah “لايترك الحق لاجل الباطل” “Kebenaran Tidak Bisa Ditinggalkan Hanya Karena Ada Kebatilan”. Kaedah ini timbul ketika Syekh Izzuddin mengkaji ayat:
۞ إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ ۖ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا ۚ وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa bukit Shafa dan Marwah merupakan bagian dari syi’ar ibadah untuk sa’i pada ibadah umrah dan haji. Maka barangsiapa yang menuju Baitul Haram untuk menunaikan haji atau umrah maka tidak mengapa bahkan wajib baginya untuk melakukan sa’i antara bukit Shafa dan Marwah, meski orang-orang musyrik juga sedang sa’i dan mendekatkan diri kepada berhala-berhala mereka di sana.
Menurut beliau ayat ini menjelaskan jika ada ada perkara hak yang bercampur aduk dengan perkara batil maka perkara hak itu tidak bisa ditinggalkan karena adanya perkara batil itu. Buktinya Allah tetap memerintahkan kita untuk melakukan sa’i di Shafa dan Marwah sekalipun di sana terdapat kemunkaran, yakni orang-orang musyrik juga sedang sa’i dan mendekatkan diri kepada berhala-berhala mereka di sana, sehingga menimbulkan kaedah hukum yang telah disebutkan.
Hal ini juga dibuktikan ketika Rasulullah thawaf di ka’bah yang ketika itu masih dikuasai oleh Kafir Qurasy, tentu di sana masih ada banyak berhala yang disembah oleh penduduk Qurasy. Tapi Nabi tetap melaksanakan thawaf sekalipun di sana terdapat kemungkaran. Dari sinilah Syekh Izzuddin menyimpulkan bahwa kebenaran tidak bisa ditinggalkan hanya karena ada kebatilan.
Baca juga: Tutorial Aplikasi Wali Santri
Demikian pula ketika Nabi hendak melaksanakan perang, yang mana hukum berjihad ketika itu adalah wajib. Ketika demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa di dalam pasukan yang ikut berperang bersama Nabi pasti terdapat orang fasiq dan fajir, sedangkan berkumpul bersama dengan orang demikian termasuk maksiat. Seandainya Nabi menentukan kriteria pasukan yang hendak berperang bersama beliau (untuk menghindari maksiat), mungkin sangat sedikit pasukan yang ikut bersama Rasulullah, karena tidak semua shahabat itu seadil Abu Bakar dan Umar.
Baca juga: NKRI Menurut Habib Mohammad Baharun
Hal ini berbeda dengan keterangan yang ada di dalam Fathul Mu’in. Di dalam Fathul Mu’in dijelaskan bahwa melaksanakan haji hukumnya adalah wajib, namun ketika di sana ada kebatilan (kemunkaran) maka hukumnya menjadi tidak wajib. Begitu juga dengan keterangan Imam Baijuri dalam kitabnya al-Baijuri. Jika diputuskan hukum demikian, menurut Gus Baha, mungkin tidak akan ada yang melakukan haji, karena dalam proses pendaftaran, pemberangkatan hingga prosesi haji itu sendiri pasti ada kemunkaran, padahal haji itu wajib. “Saya tidak menyalahkan ya, ini hanya untuk perbandingan mana pendapat yang lebih kalian cocoki,” papar Gus Baha (sapaan akrab beliau) agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
“Coba bayangkan,” lanjut beliau, berhala yang sebatil itu (disembah yang mengakibatkan adanya kesyirikan) saja tidak bisa menggugurkan pekerjaan yang hak (pekerjaan haji seperti thawaf dan sa’i), apalagi maksiat-maksiat yang amatiran seperti yang ada sekarang ini (bercampur baur dengan ajnabiyah). “Jika yang menopang barang hak itu harus steril, terus siapa yang mau melaksanakan?” jelas ulama asal rembang, jawa tengah ini.
Kajian pada bulan Jumadats Tsani ini merupakan kajian terakhir untuk tahun ini, sebelum memasuki bulan Ramadan. Karena menurut keterangan beliau, beliau akan lebih fokus untuk membaca dan mengkaji kitab-kitab tasawuf untuk mempersiapkan diri menyambut kedatangan bulan suci Ramadan.
Kanzul Hikam|Sidogiri.net