Masyayikh SidogiriUnggulan

KH. Aminullah Penerus Perjuangan Sayid Sulaiman (Bagian II)

Tinggal di Pulau Bawean

Hadramaut dikenal dengan daerah asal orang-orang Arab yang menetap di Indonesia. Kedatangan mereka ke Indonesia diperkirakan sejak abad ke-13. Saat itu memang sudah terjalin hubungan perdagangan antara Indonesia dan negara-negara Arab. Karena letak Indonesia sangat strategis, maka mereka banyak memilih Indonesia sebagai tempat tujuan niaga. Selain karena Indonesia masyhur dengan keindahan dan kekayaan alamnya yang melimpah, juga banyak di antara mereka yang memang bertujuan menyebarkan agama Islam sebagai tuntutan kewajiban dakwah. Hadramaut memang dikenal sebagai tempat yang banyak mencetak dai-dai ke berbagai wilayah yang kering dari nilai-nilai Islam.

Setelah berlayar berbulan-bulan dari Hadramaut, akhirnya Kiai Aminullah dan kelompok pedagang tiba di wilayah perairan Indonesia. Rombongan saudagar itu langsung merapat di dermaga pulau Bawean, sebuah pulau dari gugusan pulau yang terletak di kawasan Laut Jawa. Luas pulau ini sekitar 199 kilometer persegi, dengan garis tengah 15 kilometer dan keliling sekitar 60 kilometer. Bagian tengah pulau itu merupakan perbukitan. Bukit tinggi dinamakan Gunung Besar (695 m). Dataran rendahnya berposisi melingkari pesisir pulau. Di dataran rendah dan sempit ini terdapat banyak penduduk. Daerah pedalaman hingga kini belum dijamah manusia, dibiarkan sebagai hutan yang luasnya sekitar 4557 hektare. Sebagian lagi difungsikan sebagai hutan jati.

Menurut Hoogerwerf, seorang geolog yang pernah melakukan penelitian di pulau itu, Bawean terbentuk dari gunung api tua dengan titik tertinggi sekitar 665 meter di atas permukaan laut. Di Bawean hanya ada sungai-sungai kecil yang berair banyak hanya pada musim hujan. Satu-satunya sumber air bagi masyarakat pulau ini adalah danau Kastoba yang terletak di Gunung Besar. Dari danau ini masyarakat menggantungkan kebutuhan pengairan untuk lahan pertanian.

Hampir seluruh penduduk Bawean beragama Islam, kendati masih ada kepercayaan terhadap hal-hal gaib, seperti kepercayaan terhadap roh yang melindungi rusa hutan dari pemburu, atau roh lain yang menjaga babi-babi liar. Ada juga roh-roh yang dipercaya bersemayam di puncak Gunung Bringin. Semua itu tampak dari acara sesembahan yang dilakukan di tempat-tempat tertentu, sehingga tak heran jika Kiai Aminullah memilih pulau ini sebagai lahan dakwah. Kepercayaan masyarakat yang banyak menyimpang itu menarik perhatian Kiai Aminullah untuk meluruskannya.

Tapi sayang, penulusuran yang dilakukan redaksi terhadap jejak Kiai Aminullah di pulau Bawean tidak banyak membuahkan hasil. Tak ditemukan lagi benda-benda erkeologis yang menunjukkan keberadaan Kiai Aminullah di pulau itu. Beberapa tokoh masyarakat yang dihubungi juga tidak memberikan keterangan yang cukup memuaskan. Padahal menurut cerita yang berkembang dari mulut ke mulut (oral story) serta penuturan dari sekian banyak narasumber, sebelum menetap di Sidogiri Kiai Aminullah tinggal di Bawean. Bahkan ada yang mengatakan jika beliau memang berasal dari Bawean, bukan dari Hadramaut.

Pindah ke Sidogiri

Dahulu, Sidogiri adalah hutan belantara yang banyak dihuni beragam tumbuhan, mulai dari tumbuhan-tumbuhan kecil hingga pohon-pohon besar. Tumbuh pula pohon-pohon yang buahnya memberikan banyak manfaat, seperti pohon Mangga, Kelapa, Nangka, dan sebagainya. Sungai-sungai besar maupun kecil cukup banyak, menunjukkan betapa subur tanah Sidogiri ini. Bermacam-macam hewan juga hidup di situ. Selain subur, tanah Sidogiri juga diyakini sebagai tanah yang penuh berkah. Karena asumsi itulah banyak orang dan ulama berdatangan ke sana dengan beraneka ragam latar belakang dan tujuan.

Pada abad ke-17, Kiai Aminullah sebagai pengelana yang sederhana datang ke Sidogiri. Ia berkeinginan menimba ilmu dari seorang ulama tersohor ketika itu yang akrab dengan sebutan Sayid Sulaiman. Kehadirannya untuk berguru kepada Sayid Sulaiman diterima dengan baik. Ia belajar dengan baik serta melaksanakan perintah Mbah Sayid dengan penuh kepatuhan. Tanpa kenal lelah, Aminullah membantu pembabatan rimbunan pohon di hutan Sidogiri. Semangat belajar Aminullah yang besar membuatnya cepat menguasai berbagai bidang disiplin ilmu, mulai dari ilmu syariah sampai ilmu kesaktian. Tak heran kalau akhirnya ia mengungguli teman-temannya, kemudian ia diambil menantu oleh Sayid Sulaiman.

Riwayat lain menyebutkan, Kia Aminullah adalah seorang ulama yang alim dan sakti, yang dikirim oleh Sunan Giri (penguasa Giri) untuk membantu Sayid Sulaiman membabat tanah Sidogiri dan memerangi jin-jin penghuni tanah tersebut. Kemudian beliau diambil menantu Sayid Sulaiman. Setelah Sayid Sulaiman wafat, Kiai Aminullah terus melanjutkan pembabatan tanah Sidogiri dan bertempat tinggal di sana sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri.

Kiai Aminullah dan PP Sidogiri

Pada masa kepengasuhan Kiai Aminullah, Sidogiri sudah dikenal dengan nama Sidogiri Kanjengan, yang berarti Sidogiri tempatnya para kanjeng dan para kiai. Sebenarnya nama itu sudah pernah disematkan oleh Sayid Sulaiman ketika mematok sebidang tanah di Sidogiri, ketika itu beliau berharap semoga di tanah patokan itu kelak dibangun sebuah kanjengan.

Menurut penuturan beberapa sumber, sejak dahulu tanah Sidogiri banyak didatangi para kiai untuk uji nyali mencoba membabat tanah Sidogiri yang dikenal berbarakah. Tapi sayaratnya mereka harus berjuang melawan makhluk-makhluk halus dan menundukkannya. Sehingga banyak di antara mereka yang menetap hingga meninggal dan dimakamkan di Sidogiri. Bahkan konon sebagian Walisongo juga pernah singgah di Sidogiri Kanjengan tersebut dalam rangka berdakwah ke wilayah Surabaya, Pasuruan, dan sekitarnya.

Asal-usul Nama Sidogiri

Banyak versi yang menyebutkan asal-usul nama Sidogiri. Menurut sebagian riwayat, nama “Sidogiri” berawal dari ketika Sayid Sulaiman mendapat titah dari penguasa Giri untuk membabat tanah di daerah Pasuruan untuk dibangun sebuah pesantren. Tanah itu dikenal berbarakah dan mengandung segudang misteri. Beberapa ulama mencoba merintis pembangunan pesantren di tanah itu. Namun semuanya berakhir tanpa hasil. Karena mereka tidak mampu meredam gangguan makhluk halus penghuni tanah itu. Kehadiran Sayid Sulaiman ternyata mampu mengatasi makhluk-makhluk tak kasat mata itu. Karena kesuksesannya, Sayid Sulaiman disebutsebut sebagai “Kang sido saking utusan Sunan Giri” (Utusan penguasa Giri yang sukses), yang belakangan menjadi nama “Sidogiri”. Pesantren yang beliau rintis di tempat itu kini sudah menjelma menjadi salah satu pesantren besar di Jawa dan tetap survive hingga kini.

Versi lain menyebutkan, bahwa nama itu diambil dari peristiwa kedatangan Sunan Giri (Penguasa Giri) atau utusannya ke tanah Kanjengan Sidogiri. Dalam kunjungannya itu, beliau tidak membawa masuk tongkat yang dibawanya. Tongkat itu ditancapkan di suatu tempat di luar kawasan Sidogiri. Ternyata sepulang beliau dari menemui kiai Sidogiri, tongkat tadi tertinggal, sehingga penduduk setempat mengatakan, “Sido kari tongkate Sunan Giri”, yang berarti “Tertinggal sudah tongkat Sunan Giri”. Maka lama-kelamaan tempat itu terkenal dengan sebutan singkat “Sidogiri”. Setelah Sunan Giri ingat pada tongkatnya yang tertinggal, beliau kembali untuk mengambilnya. Tapi terjadi peristiwa aneh ketika tongkat itu dicabut. Bekas cabutannya memancarkan air bersih dan segar. Kemudian sumber air itu oleh masyarakat dijadikan sumur. Kini di lokasi sumber air itu dibangun Balai Pengobatan Santri (BPS) sebelah timur.

Ada pula versi lain mengatakan bahwa kata “Sidogiri” itu berasa dari kata “Sayyidul-Qurâ”, yang berarti “tuan beberapa desa”. Karena Sidogiri adalah tempat ulama-ulama besar, yang didatangi santri-santri dari segala penjuru untuk belajar dan mendalami ilmu-ilmu agama. Bahkan kemudian di masa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, Sidogiri menjadi markas para pejuang dari daerah-daerah lain, dan di masa sekarang Sidogiri berkembang pesat menjadi sebuah desa yang sangat maju dibanding desa-desa yang lain.

Latar Belakang Berdirinya PP Sidogiri

Sebagaimana disebutkan dalam buku Pondok Pesantren Sidogiri: Suatu Penelusuran Hari Jadi Kabupaten Pasuruan terbitan Pemerintah Kabupaten Pasuruan, ada beberapa hal yang melatarbelakangi berdirinya Pondok Pesantren Sidogiri, antara lain sebagai berikut:

Pertama, sebagaimana halnya latar belakang berdirinya pondok pesantren lain, yakni sebagai tempat mendidik santri dengan cara diasramakan, sehingga mereka dapat belajar dan bertempat tinggal di tempat tersebut. Biasanya pondok pesantren dipimpin pemangku pesantren, yaitu ulama senior di lingkungan pondok pesantren tersebut. Sistem yang digunakan dalam mendidik masih tradisional dan salaf.

Kedua, sentral untuk pendidikan (khususnya) keagamaan tersebut dimaksudkan juga sebagai pusat syiar agama Islam. Tentunya pada saat didirikan Pondok Pesantren Sidogiri, latar belakang sebagai agama yang relatif baru perlu memperkuat diri agar dapat lebih mengakar pada masyarakat, mangingat pengaruh agama sebelumnya masih kental terasa dalam kehidupan seharihari di masyarakat, khususnya masyarakat Jawa.

Ketiga, mengingat bahwa pendirian Pondok Pesantren Sidogiri pada saat itu adalah atas perintah penguasa Giri kepada Sayid Sulaiman, di mana penguasa Giri sejak penobatan Sunan Giri menjadi Prabu Sasmata tahun 1487 adalah sebagai ulama juga pemimpin pemerintahan. Oleh sebab itu latar belakang didirikannya Pondok Pesantren Sidogiri adalah untuk membentuk sentral kekuatan sebagai antisipasi terhadap tantangan syiar agama Islam, yang dibangun dengan model perwilayahan seperti dalam Pemerintahan Daerah. Memberi nama lokasi di lingkungan Pondok Pesantren Sidogiri dengan menggunakan istilah Dati II A, Dati II B, dan seterusnya.

Latar belakang itulah yang kemudian menjiwai para kiai sepuh Sidogiri, mulai dari pendiri, Sayid Sulaiman dan Kiai Aminullah, hingga pemangku selanjutnya, untuk membina pesantren serta menggembleng santri-santrinya dengan berbagai ilmu pengetahuan, khususnya ilmu agama, sebagai bekal dakwah dalam menyebarkan Islam di Pasuruan dan daerah-daerah lainnya. Berdasarkan catatan buku di atas, Pondok Pesantren Sidogiri didirikan oleh Sayid Sulaiman pada hari Selasa Wage, 20 September 1712. Ini terhitung dari awal pembabatan tanah Sidogiri. Beliau berjuang menyebarkan syiar Islam di Sidogiri dan sekitarnya, hingga akhirnya beliau wafat pada 26 September 1766.

Sedangkan menurut catatan yang ditandatangani oleh al-Maghfûr lahum KH Noerhasan Nawawie, KH Cholil Nawawie, dan KA Sa’doellah Nawawie di dalam naskah tertanggal 29 Oktober 1963, bahwa Pondok Pesantren Sidogiri dibina atau didirikan pada tahun 1718 M. Tatapi dalam catatan lain berisi hari ulang tahun (HUT) PPS pada tahun 1971, tertulis bahwa HUT PPS pada saat itu adalah yang ke226. Berarti tahun berdirinya PPS adalah pada tahun 1745 M. Akan tetapi pada kenyataannya yang dipakai sebagai HUT PPS sampai saat ini adalah dengan menggunakan tahun berdiri 1745 M. Tahun berdiri 1745 ini pula yang dicantumkan dalam AD/ART Pondok Pesantren Sidgiri sebagai tahun pendiriannya, tepatnya Jumat Wage, 20 Sya’ban 1158 H/17 September 1745 M.

Sidogiri Pesantren Tertua

Pondok Pesantren Sidogiri merupakan salah satu pesantren tertua di Jawa Timur, bahkan di Indonesia. Di dalam Serat Cebolek dan Serat Centini disebutkan bahwa sejak abad ke-16 di Indonesia telah banyak dijumpai pesantren besar yang mengajarkan berbagai kitab Islam klasik di bidang fikih, tahuhid, tafsir, dan tasawuf.

Berdasarkan data Departemen Agama tahun 1984/1985 jumlah pesantren di Indonesia pada abad ke-16 sebanyak 613 pesantren, akan tetapi tidak diketahui pada tahun berapakah pesantren-pesantren itu berdiri, yang waktu itu masih berupa pondokan-pondokan kecil dan santri-santrinya masih relatif sedikit. Sementara itu Pondok Pesantren Sidogiri diperkirakan telah berdiri sejak abad 17, tepat pada hari Selasa Wage, 20 September 1712 M. Versi lain tahun 1718 M, atau 1745 M.

Keberadaan pesantren-pesantren itu semakin berkembang pesat pada abad-abad selanjutnya. Pada tahun 1899 berdiri Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang yang didirikan KH Hasyim Asy’ari; tahun 1911 berdiri Pondok Pesantren alMunawwir di Krapyak Yogyakarta, yang didirikan oleh KH Munawwir; 9 Oktober 1926 M berdiri Pondok Pesantren Modern Gontor di Ponorogo. Dan masih banyak lagi pesantren yang diidentifikasi sebagai pesantren kuno, seperti Pondok Pesantren Wonokoyo di Proboliggo, Pondok Pesantren Siwalan di Panji Sidoarjo, Pondok Pesantren Lirboyo di Kediri, Pondok Pesantren Tegalsari, Pondok Pesantren Lasem, Pondok Pesantren al-Khoiriyah di Banten, Pondok Pesantren Suryalaya di Tasikmalaya, dll.

Secara keseluruhan pensantren-pesantren tesebut selalu dijadikan contoh dan anutan oleh masyarakat, sehingga dengan demikian keberadaan pesantren-pesantren itu berperan sebagai potensi yang sangat besar dalam perkembangan masyarakat, terutama masyarakat Muslim lapisan menengah ke bawah.

Pengasuh Kedua Pondok Pesantren Sidogiri

Setelah sampai di Sidogiri, Kiai Aminullah berguru kepada Sayid Sulaiman. Beliau termasuk santri yang taat, cerdas, dan bertanggung-jawab. Berbeda dengan santri-santri lainnya, ia banyak berperan membantu perjuangan Sayid Sulaiman. Karena kecakapannya itulah, selang beberapa lama beliau dinikahkan dengan putrinya, Nyai Indah, yang juga dikenal dengan nama Nyai Hindun. Jadi Kiai Aminullah adalah menantu Sayid Sulaiman.

Kemudian Kiai Aminullah melanjutkan perjuangan Sayid Sulaiman mengembangkan pendidikan di Sidogiri dengan menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri kedua. Urutan pengasuh Sidogiri adalah (1) Sayid Sulaiman, (2) KH Aminullah dari Bawean, (3) KH Mahalli dari Bawean, (4) KH Noerhasan bin Noerkhotim dari Madura, (5) KH Bahar bin Noerhasan, (6) KH Nawawie bin Noerhasan, (7) KH Abd Adzim bin Oerip (sebentar), (8) KH Abd Djalil bin Fadlil, (9) KH Cholil Nawawie, (10) KH Siradjul-Millah Waddin Nawawie (sebentar), (11) KH Abd. Alim Abd. Djalil, dan kini (12) KH Nawawi Abd Djalil.

Versi lain menyebutkan, urutan Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri adalah (1) Sayid Sulaiman, (2) KH Aminullah, (3) KH Abu Dzarrin, (4) KH Mahalli, (5) KH Utsman, (6) KH Husain, (7) KH Noerhasan bin Noerkhotim, (8) KH Bahar bin Noerhasan, (9) KH Nawawie bin Noerhasan, (10) KH Abd Djalil bin Fadlil, (11) KH Cholil Nawawie, (12) KH Abd. Alim Abd. Djalil, dan kini (13) KH Nawawi Abd Djalil.

Akan tetapi berbeda dengan versi di atas, menurut penuturan beberapa narasumber, pengasuh pertama Pondok Pesantren Sidogiri adalah Kiai Aminullah, bukan Sayid Sulaiman. Kepemimpinan Sayid Sulaiman di Sidogiri tidak dihitung sebagai pengasuh pertama, karena keberadaan Sayid Sulaiman hanya mematok, peletak fondasi awal yang saat itu masih belum berupa pesantren pada umumnya. Lagi pula Sayid Sulaiman adalah seorang ulama yang suka berpindah-pindah menyebarkan agama Islam, tidak sepenuhnya menetap di Pondok Pesantren Sidogiri.

Pada masa Kiai Aminullah menjadi Pengasuh, lokasi Pesantren yang asalnya berada di selatan sungai di pindah ke utara sungai, dengan alasan di selatan sungai dinilai kurang strategis dan terpencil. Lokasi itu juga sangat rawan. Sayid Sulaiman sudah membangun tiga kotakan (bilik) santri di sana. Akan tetapi semuanya ambruk akibat ulah bangsa jin. Dikatakan bahwa bilangan hari jadi PPS mengacu pada tahun 1745 yang diyakini sebagai tahun pembabatan Kiai Aminullah dibantu Nyai Indah dan dua santrinya asal Bawean, setelah pembabatan Sayid Sulaiman (dua santri tersebut dimakamkan di samping makam Kiai Aminullah).

Namun dalam wawancara dengan KH Abd. alim abd. djalil setahun sebelum beliau wafat, disebutkan bahwa hitungan hari jadi PPS ke-267 tahun itu terhitung sejak pesantren ini pindah ke sebelah utara sungai. Jika umur Pondok Pesantren Sidogiri ini dihitung dari era pengasuh Sayid Sulaiman, diperkirakan Pondok Pesantren Sidogiri sudah berumur lebih dari 400 tahun. Hingga kini masih ditemukan sisa bangunan pada masa Sayid Sulaiman di selatan sungai, walaupun sebagian besar telah menghilang ditelan zaman.

Pendiri Masjid Sidogiri

Sebagaimana lumrahnya sebuah pesantren, tentu di sana terdapat sebuah masjid sebagai tempat sentral kegiatan ibadah dan dakwah. Setelah pembabatan mencapai hasil yang diinginkan, KH Aminullah segera membangun sebuah masjid. Akan tetapi pembangunan itu selalu gagal, karena setiap hampir rampung, masjid itu roboh. Kejadian itu berlangsung hingga beberapa kali. Setelah diamati, ternyata biang keladinya adalah jin-jin jahat yang selalu mengganggu. Karena kesal dengan perbuatan jin-jin pengganggu itu, maka Kiai Aminullah bertarung melawan makhluk-makhluk halus itu. Akhirnya setelah beberapa hari pertempuran, mereka dapat ditaklukkan. Baru setelah itu, pembangunan masjid dapat dilanjutkan.

Masjid yang dibangun oleh Kiai Aminullah tidak begitu luas. Lokasi masjid itu bisa kita saksikan pada bagian dalam dekat mihrab imam. Dengan luas sekitar 66 m2 dan hanya mampu menampung 120 jamaah saja. Selanjutnya Masjid Jamik Sidogiri mengalami beberapa kali pemugaran dan perluasan. Di antaranya adalah pada tahun 1955 (?) ketika KH Cholil Nawawie manjadi pengasuh PPS, dan paruh pertama tahun 2000-an ketika KH Abd. alim abd. djalil menjadi Pengasuh PPS. Kini masjid yang menjadi pusat ubudiah santri itu belasan kali lipat lebih luas dari sebelumnya, sehingga mampu menampung lebih dari 4.500 jamaah.

Narasumber lain menyebutkan kalau masjid besar yang ada di lokasi pondok itu asalnya dibangun oleh Wedana pembantu Bupati yang membawahi beberapa Camat). Setelah Jepang masuk ke Indonesia pada tahun 1942, nama Wedana dihapus dan diganti dengan Camat. Beberapa tahun kemudian, Camat dihapus dan diganti Mantri Polisi, yang akhirnya berubah menjadi Desa. Saat itulah status masjid itu terkatung-katung. Tidak ada pihak yang mau mengurusi. Ketika Golkar berkuasa, masyarakat Sidogiri menganggap perlu untuk mengusulkan agar segera membentuk nazhîr (pengelola) masjid. Karena hingga saat itu masjid Sidogiri tidak ada nazhîr-nya. Akhirnya disepakati bahwa masjid itu dinazhîr-i oleh masyarakat sekitar dan kemudian pengelolaan masjid itu dipasrahkan kepada KH Abd. Alim Abd. Djalil, Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri saat itu. Sangat mungkin masjid ini merupakan pengembangan dari masjid yang sudah dirintis dengan susah payah oleh Kiai Aminullah.

Bersambung ke bagian III…

Disadur dari buku ‘Jejak Langkah Masyayikh Sidogiri’

Pesan buku

Shares:
Show Comments (1)

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *