
Kiai Sakti yang Ahli Ibadah dan Kaligrafi
Kiai Aminullah adalah sosok waliyullâh yang tidak mencintai dunia. Bagi beliau, ilmu adalah segala-galanya. Kiai Aminullah adalah figur ‘âbid (ahli ibadah) yang senang berkhidmah. Beliau tergolong ahli puasa. Bertahun-tahun beliau berpuasa, menahan lapar dan dahaga, mengendalikan nafsu dan mengekangnya. Beliau berpuasa hingga 40 tahun lamanya. Beliau juga istikamah mengaji al-Qur’an selama 40 tahun. Selain itu, kebiasaan Kiai Aminullah sehabis shalat Tahajud adalah mengisi air di jeding masjid sampai penuh, kemudian pindah pada jeding-jeding yang lain. Hal itu beliau lakukan selama 40 tahun.
Ada kejadian menarik seputar pengisian air jeding itu. Karena jeding-jeding selalu penuh airnya pada pagi hari, orang-orang dan santri sama-sama heran. Sebab pada sore hari sebelumnya, biasanya airnya hampir habis. Mereka tidak tahu dan penasaran, siapakah gerangan yang baik hati mengisi jeding-jeding itu. Lalu ada santri yang berusaha untuk mengetahuinya. Ia tidak tidur dan menunggu untuk mengintip orang yang mengisi jeding-jeding itu. Kira-kira jam tiga malam, ia mendengar kriek-kriek bunyi kerekan sumur. Tanpa pikir panjang, ia langsung menyergap si penimba. “Hayo, siapa ini?!” teriaknya. Setelah tahu bahwa orang itu adalah Kiai Aminullah, santri itu meminta maaf dan menangis menyesali perbuatannya. Konon, karena peristiwa tersebut, akhirnya santri itu menjadi wali.
Kiai Aminullah diyakini oleh keturunannya mendapatkan umur yang panjang. Kesimpulan ini dengan melihat pada perjalanan hidup dan perjuangan Kiai Aminullah sebagai penerus Sayid Sulaiman dalam membabat Sidogiri dan menyebarkan Islam di Pasuruan dan sekitarnya. Selain itu, keturunan beliau dari istri keempatnya masih lebih muda dibanding keturunan beliau dari istri-istri yang lain. Lagi pula usia orang-orang zaman dulu biasanya memang panjang.
Sosok Sakti yang Rendah Hati
Sejak zaman dahulu daerah Banten dikenal sebagai pusat ilmu kesaktian (kanuragan), sedangkan Pasuruan lebih dikenal sebagai kota santri. Namun tidak berarti di Sidogiri kala itu tidak diajarkan ilmu kanuragan. Hanya saja ilmu agama lebih menonjol. Ilmu kesaktian juga perlu diajari sebagai sarana pendukung dakwah dan bekal menegakkan kebenaran serta melawan ketidakadilan.
Kiai Aminullah dikenal rendah hati dan tidak suka menonjolkan kehebatan ilmunya. Ini sesuai dengan ajaran ilmu tasawuf yang disebut dengan istilah khumul (low profile). Awalnya beliau dikenal sebagai sosok yang sederhana, tapi lambat laun kedigdayaan beliau tampak. Beliau ternyata ahli dalam ilmu kesaktian atau ilmu kanuragan. Cerita tentang kehebatannya menaklukkan jin-jin jahat sudah tidak asing lagi di telinga.
Pernah pada suatu ketika ada seorang santri beliau yang juga punya ilmu kanuragan mencoba ilmunya untuk merontokkan buah kelapa, di depan Kiai Aminullah. Dengan sekali hentak, jatuhlah semua buah kelapa yang ada di pohon itu. Melihat hal itu, Kiai Aminullah mengingatkan agar tidak menggunakan ilmu kanuragan dengan cara seperti itu. Karena buah kelapa yang masih muda juga ikut rontok. Lantas beliau menunjukkan penggunaan ilmu kanuragan yang labih baik. Dengan cepat kilat, beberapa buah kelapa tua sudah ada di tangan beliau.
Pada masa itu ilmu kanuragan memang merupakan ilmu yang paling banyak dipelajari. Hal ini tidaklah mengherankan. Karena tuntutan situasi dan kondisi saat itu, yaitu seringnya terjadi peperangan, perampokan dan lain sebagainya. Peperangan sering terjadi akibat perebutan kekuasaan oleh beberapa kerajaan. Di antaranya perseteruan heroik antara kerajaan Islam Demak dengan kerajaan Hindu Blambangan, perlawanan kerajaan Mataram terhadap VOC (penjajah Belanda), juga perebutan kekuasaan antara kerajaan Demak dan kerajaan Mataram, yang saat itu wilayah kekuasaan kedua kerajaan ini meliputi seluruh pulau Jawa, termasuk Pasuruan.
Bagi Kiai Aminullah ilmu kesaktian bukanlah ilmu yang pantas dibangga-banggakan, apalagi menjadikan pemiliknya sombong. Beliau lebih suka mengedepankan kesederhanaan dalam berperilaku, tidak menampakkan kehebatan ilmu, serta bertindak santun dalam menghadapi siapa saja.
Menaklukkan Jin-Jin Sidogiri
Semasa Kiai Aminullah menuntut ilmu di Sidogiri, selain dikenal sebagai santri yang cerdas, tekun dan istikamah, beliau juga dikenal memiliki kesaktian yang luar biasa. Hal ini beliau buktikan ketika meneruskan tugas Sayid Sulaiman membabat hutan di tanah Sidogiri. Sidogiri tempo dulu adalah hutan rimba. Perjuangan Kiai Aminullah tidak serta-merta lancar tanpa halangan. Ketika menebangi pohon yang sudah berusia puluhan hingga ratusan tahun itu, banyak aral rintangan yang harus beliau hadapi. Beliau harus berhadapan dengan makhluk halus penghuni hutan itu. Beliau berperang dengan para dedemit selama tiga hari tiga malam. Bahkan ada yang mengatakan pertarungan dua makhluk beda alam ini berlangsung selam 40 hari 40 malam tanpa henti. Saat itulah kedigdayaan beliau tampak. Konon, ketika duel dengan jin di udara, beliau mampu melayang di udara tanpa berpijak pada apapun. Satu keahlian yang tak dikuasai oleh bangsa jin. Karena mereka masih hinggap di pepohonan. Berkat kesaktian itulah beliau mampu membuat lawan bertekuk lutut.
Setelah dapat menaklukkan jin, Kiai Aminullah meminta tolong kepada salah satu jin untuk diantarkan ke Mekah guna menunaikan ibadah. Sebagai santrinya, jin itu mengiyakan permintaan Kiai Aminullah. “Mari Kiai, kalau memang Anda berkehendak,” katanya. Ketika tiba di suatu tempat di India, jin itu meminta izin berhenti sejenak dengan alasan masih ada keperluan. Kiai Aminullah didudukkan di atas batu. “Kalau kau masih punya keperluan, boleh saja kau pergi. Tapi jangan lama-lama, aku akan menunggu di sini,” kata Kiai Aminullah kepada jin itu.
Setelah ditunggu lama, ternyata jin itu tidak kunjung kembali. Maka dihentakkanlah kaki beliau ke bumi sebanyak tiga kali, tiba-tiba jin itu sudah ada di depan Kiai. Kiai pun berkata, “Aku kan sudah berpesan agar kau tidak pergi lama-lama! Sudah, sekarang antarkan aku ke Sidogiri lagi!,” kata Kiai pada jin itu. Kemudian Kiai kembali menghentakkan kekinya ke tanah tiga kali seraya berkata, “Mudah-mudahan anak-anakku sampai tujuh turunan tidak kenal dengan jin”. Dari kisah ini tampak betapa buruknya perangai jin, walaupun sudah menyatakan setia masih berkhianat pula.
Ahli Kaligrafi yang Kreatif
Dari sekian banyak ilmu yang dikuasai Kiai Aminullah, salah satu di antaranya adalah seni menulis kaligrafi Arab. Kecakapan yang beliau miliki ini dimaksudkan sebagai sarana dalam mengajar santri-santrinya. Dengan keahliannya itu, beliau banyak menulis al-Qur’an dan kitab-kitab kuning, seperti kitab al-Ajurumiyah, dll. Dikarenakan khawatir dirampas pasukan Belanda, maka manuskrip kitab-kitab itu disimpan di loteng masjid kuno Kanigoro. Tapi sayang, peninggalan berharga itu kini hilang tiada tersisa, karena dibawa satu persatu oleh para pejuang yang berniat menyelamatkannya.
Model khat kaligrafi yang paling beliau sukai adalah khat Riq‘î. Salah satu hasil karyanya yang masih ada hingga kini adalah sebuah prasasti yang beliau ukir di atas papan kayu. Satu-satunya artefak peninggalan Kiai Aminullah itu saat ini terpampang di dalam masjid kuno Kanigoro. Prasasti itu ditulis dengan bahasa Arab. Di dalamnya disebutkan bahwa pemugaran masjid kuno itu dilaksanakan pada hari Ahad waktu Dhuha, Rabiul Akhir tahun 1227 H, oleh Syekh Rofii bin Syekh Ahmad Kanigoro.
Alim dan Haus Ilmu
Menurut suatu riwayat, ketika tinggal di Kanigoro, Kiai Aminullah berguru kepada Syekh Rofii bin Umi Kultsum binti Hazam bin Sayid Sulaiman. Sedangkan dari jalur laki-laki, Syekh Rofii adalah putra Syekh Ahmad. Syekh Rofii adalah seorang ulama yang alim ‘allâmah. Sehingga karena kealimannya itulah beliau dipanggil dengan gelar Syekh di depan namanya. Secara etimologis, Syekh adalah sebutan bagi ulama yang alim dalam ilmu agama. Syekh juga biasa menjadi sebutan bagi orang-orang Arab, terutama keturunan Nabi Muhammad SAW.
Kiai Aminullah adalah sosok yang haus ilmu. Beliau tidak merasa cukup dengan ilmu yang beliau dapatkan. Karena ketekunan dan kecerdasannya, Kiai Aminullah menjadi murid yang alim, tangkas dan terampil, sehingga Kiai Aminullah kemudian diambil menantu oleh Syekh Rofii, yakni dinikahkan dengan putri beliau yang bernama Masturoh.
Dalam versi ini terdapat sebuah perbedaan yang cukup mencolok dengan versi lain yang mengatakan bahwa Kiai Aminullah adalah menantu dari Sayid Sulaiman di Sidogiri. Sebab dalam versi ini, Kiai Aminullah adalah menantu dari Syekh Rofii Kanigoro, sedang Syekh Rofii adalah cicit dari Sayid Sulaiman.
Keturunan dan Peninggalan Kiai Aminullah
Meneliti keturunan dan peninggalan Kiai Aminullah ternyata tidak mudah. Karena Kiai Aminullah hidup pada sekitar abad 17 M. Hanya sebagian keturunan beliau yang tercatat dengan pasti. Dan hanya sedikit peninggalan-peninggalan beliau yang diketahui dan diyakini oleh orang-orang. Kendala semacam ini sering dialami oleh para sejarawan dalam meneliti kehidupan dan peninggalan tokoh-tokoh besar. Yang bisa dipetik dari kenyataan ini adalah: betapa pentingnya mencatat fakta-fakta peristiwa yang terjadi dan data-data yang ada saat ini, juga menjaga dan menyimpan barang-barang bersejarah, karena bisa jadi kelak akan sangat dibutuhkan dalam penulisan sejarah.
Lokasi Rumah Kiai Aminullah
Setelah diambil menantu Sayid Sulaiman, Kiai Aminullah melanjutkan perjuangan Sayid Sulaiman membabat tanah Sidogiri, menyebarkan Islam di daerah Pasuruan dan sekitarnya, dan mengajarkan ilmu-ilmu agama pada santri-santri Pondok Pesantren Sidogiri. Kiai Aminullah bertempat tinggal di Sidogiri. Rumahnya berlokasi di tempat berdirinya gedung MMU II (pada masa lalu), atau Kopontren Unit I dan Unit II sekarang.
Istri dan Putra-Putri Kiai Aminullah
Kiai Aminullah diyakini memiliki empat istri. Istri pertama tinggal di Bawean, yang darinya Kiai Aminullah mendapat putra yang diberi nama Urip. Istri kedua tinggal di Sidogiri, di antara keturunannya Pak Qadli (?). Istri ketiga juga tinggal di Sidogiri, yakni putri Sayid Sulaiman, Nyai Indah, yang di masa kecilnya bernama Hindun. Dan istri keempat tinggal di Sidogiri pula.
Dari pernikahannya dengan Nyai Indah binti Sulaiman, beliau dikaruniai putri bernama Nyai Hafshah. Nyai Hafshah menikah dengan Kiai Mahalli dari Bawean, namun Kiai Mahalli yang selanjutnya menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri itu tidak mempunyai keturunan. Tetapi yang tercatat dalam silsilah keturunan Kiai Aminullah, Nyai Hafshah binti Kiai Aminullah menikah dengan Kiai Musliman. Bisa jadi Nyai Hafshah menikah dua kali, yakni dengan Kiai Mahalli, lalu dengan Kiai Musliman.
Dari pernikahannya dengan Kiai Musliman, Nyai Hafshah dikaruniai tiga orang putra putri, yaitu:
(1) Nyai Hanifah, menikah dengan KH Noerhasan bin Noerkhotim dari Madura. Pasangan ini dikaruniai 6 orang putra-putri: 1) KH Bahar, 2) KH Dahlan, 3) KH Nawawie, 4) Nyai Munawwaroh, 5) Nyai Fathonah, 6) Nyai Anisatun.
(2) KH Urip (Abdul Hayyi), dikaruniai 4 putra-putri: 1) Nyai Ru’yanah, 2) Nyai Amnah, 3) KH A Syafii, 4) Nyai ‘Afiah.
(3) Nyai Sari’ah, dikaruniai 3 putra: 1) Abdullah, 2) Abdul Ghani, 3) Barro’.
Dari pernikahannya dengan istri keempat, Kiai Aminullah mendapat putra Kiai Barmawi. Kiai Barmawi mempunyai 12 putra-putri, yakni 1) Barok, 2) Bukhari, 3) Musyri’ah, 4) Masmirah, 5) Muslihah, 6) H. Madin, 7) Dimyathi, 8) Atminah, 9) Muhammad Muhdlar, 10) Siti Halimah, 11) Jamilah, dan 12) Mas’ud.
Keturunan Kiai Aminullah, baik yang laki-laki maupun perempuan, banyak yang menjadi ulama dan pengasuh pondok pesantren, baik di Sidogiri maupun di daerah-daerah lain, bahkan di luar Pasuruan. Di Pasuruan, misalnya di Sukunsari, Kramat, Kebonsari Kota Pasuruan, Rembang, Beji Bangil, Bendungan, Keboncandi, Sladi, dll. Di luar Pasuruan, misalnya di Probolinggo, Jember, Kediri, Malang, Bangkalan, Sampang, Bondowoso, Situbondo, dll. Mereka juga banyak melahirkan ulama-ulama lain yang mendapatkan pendidikan di pesantrennya, terutama di Pondok Pesantren Sidogiri.
Masjid Sidogiri
Salah satu peninggalan Kiai Aminullah yang masih bisa disaksikan di Sidogiri adalah Masjid Jamik Sidogiri yang dibangun oleh beliau. Sebagaimana telah diuraikan di muka, sebenarnya masjid yang dibangun Kiai Aminullah tidak begitu luas. Lokasi masjid itu bisa kita saksikan pada bagian dalam dekat mihrab imam. Dengan luas sekitar 66 m2 dan hanya mampu menampung 120 jamaah saja. Selanjutnya Masjid Jamik Sidogiri mengalami beberapa kali pemugaran dan perluasan. Di antaranya adalah pada tahun 1955 (?) ketika KH Cholil Nawawie manjadi pengasuh PPS, dan paruh pertama tahun 2000-an ketika KH. Abd. Alim Abd. Djalil menjadi Pengasuh PPS. Sampai saat ini, dalam kepengasuhan Kiai Nawawi Abd Djalil, kini masjid yang menjadi pusat ubudiah santri itu belasan kali lipat lebih luas dari sebelumnya, terdiri dari tiga tingkat berlantai marmer dan kramik, sehingga mampu menampung lebih dari 4500 jamaah.
Lokasi Pesantren di Utara Sungai
Sayid Sulaiman membabat tanah Sidogiri di selatan sungai, dan membangun tiga bilik santri di sana. Akan tetapi semuanya ambruk akibat ulah bangsa jin. Kemudian pada masa Kiai Aminullah menjadi pengasuh, lokasi pesantren yang asalnya berada di selatan sungai, dipindah ke utara sungai, karena di selatan sungai dinilai kurang strategis dan terpencil. Lokasi itu juga sangat rawan. Akhirnya lokasi di selatan sungai tersebut difungsikan sebagai area pemakaman Desa Sidogiri, di samping pemakaman kiai-kiai yang di utara sungai di sebelah barat masjid.
Ratusan tahun kemudian, pada paruh kedua tahun 90-an, tanah pemakaman di selatan sungai dibeli Pondok Pesantren Sidogiri, dan pemakaman-pemakaman di sana dipindah. Hal ini terpaksa dilakukan karena sempitnya lokasi pesantren di utara sungai, sedangkan santri-santri semakin membludak dan membutuhkan pembangunan gedung-gedung baru yang representatif. Kemudian di lokasi selatan sungai tersebut dibangun berbagai gedung yang dibutuhkan, seperti gedung madrasah baru, dapur umum, balai tamu, unit koperasi pondok pesantren (Kopontren), Kantor Pusat Kopontren, lapangan olahraga, gudang, dll. Sedangkan gedung-gedung madrasah di utara sungai dialih-fungsikan menjadi tempat pemukiman tambahan bagi santri.
Prasasti Masjid Kanigoro
Sayid Sulaiman mendapatkan titah untuk membabat tiga daerah, yaitu Sidogiri, Kanigoro, dan Keboncandi. Kanigoro adalah sebuah dusun di desa Gambirkuning, kecamatan Kraton, kabupaten Pasuruan. Konon pada masa itu, Kanigoro menjadi pusat penyebaran agama Islam untuk daerah-daerah sekitarnya. Dari sanalah syiar Islam meluas sedikit demi sedikit. Kemudian menyebar lebih luas lagi ke wilayah Malang, seperti daerah Tumpeng, Pakis, Kepanjen, dan sekitarnya.
Di Kanigoro itulah dibangun masjid kuno peninggalan Sayid Sulaiman. Awalnya masjid yang dibangun Sayid Sulaiman itu berada di sebelah selatan masjid yang ada sekarang. Karena mengalami kerusakan berat akibat diobrak-abrik pasukan Belanda, pada Rabiul Akhir tahun 1227 H, Syekh Rofii, salah satu cicit Sayid Sulaiman dari jalur Sayid Hazam, memindah dan memugar masjid ke lokasi yang lebih strategis.
Di Kanigoro itu terdapat salah satu hasil karya Kiai Aminullah yang masih dapat disaksikah hingga kini. Yakni sebuah prasasti yang beliau ukir di atas papan kayu. Satu-satunya artefak peninggalan Kiai Aminullah itu saat ini terpampang di dalam masjid kuno Kanigoro. Prasasti itu ditulis dengan bahasa Arab. Di dalamnya disebutkan bahwa pemugaran masjid kuno itu dilaksanakan pada hari Ahad waktu Dhuha, Rabiul Akhir tahun 1227 H, oleh Syekh Rofii bin Syekh Ahmad Kanigoro. Tertulis dalam prasasti itu bahwa penulisnya adalah Muhammad Amin as-Sidogiri.
Tidak jauh dari masjid Kanigoro, terdapat makam Sayid Hazam yang ditindihi sebatang pohon Kamboja. Diceritakan bahwa dulu pernah ada orang yang memberanikan diri memotong pohon-pohon kering, termasuk pohon yang tepat berada di atas makam Sayid Hazam. Tapi tiba-tiba dari potongan pohon itu muncul seekor harimau. Kontan orang itu lari ketakutan, hingga kejadian itu menjadikannya gila. Sejak peristiwa itu, tak ada yang berani memotong kayu di lokasi makam Sayid Hazam.
Sayid Hazam adalah putra Sayid Sulaiman dari pernikahan beliau dengan istri ketiga asal Malang. Sayid Hazam dikenal sebagai orang yang memiliki kekuatan mistik luar biasa. Ia adalah ahli riyadhah (tirakat). Beliau setiap pagi pergi ke tepi laut guna menemui Nabi Khidir AS. dan berguru kepadanya. Jika mendapat undangan dari masyarakat sekitar, Sayid Hazam tak mau berkumpul dengan undangan khusus lainnya. Beliau lebih suka menyendiri. Bila menerima pemberian seseorang yang dianggap terlalu banyak, beliau tidak segan mengembalikannya. Beliau juga sering berdakwah keliling dan membagi-bagikan sedekah pada orang yang membutuhkan. Selain dikenal dermawan, beliau juga dikenal qanâ‘ah. Tidak jauh beda dengan Kiai Aminullah, sosok yang tidak mencintai dunia. Ilmu bagi beliau lebih berharga dari segala-galanya.
Makam yang Sempat Hilang
Zaman berganti dan masa terus berputar, nama Kiai Aminullah pernah tinggal sebutannya saja, sementara makamnya di Sidogiri hilang tidak diketahui. Selain makam Kiai Aminullah, beberama makam lain juga bernasib sama. Bahkan konon makam di Sidogiri kini sudah tertumpangi oleh makam-makam yang baru sampai empat lapis. Banyak makam yang hilang karena tertumpangi oleh makam baru. Selain karena perputaran zaman, hal itu juga disebabkan pada waktu pemugaran masjid Sidogiri, menara masjid dan yang lain dirobohkan ke arah makam oleh orang Cina pemegang proyek pemugaran saat itu.
Keadaan makam Sidogiri pada saat itu tidak terawat dengan baik, suasananya terasa sangat angker dan menyeramkan. Jarang sekali ada orang yang berani ke sana, lebih-lebih pada malam hari. Hingga pada suatu ketika, kirakira tahun 50 atau 60-an, ada seorang santri bernama Busyro dari Lumajang (kakak KH Kholil Abd Karim, PP az-Zahidin) yang mempunyai rutinitas membaca al-Qur’an di sebuah makam kuno, yang ia yakini sebagai makam orang mulia. Ia terus membaca al-Qur’an di sana tanpa mengenal waktu dan cuaca. Bahkan di bawah terik matahari dan guyuran hujan deras pun ia tetap melakukan rutinitasnya itu dengan menggunakan payung. Jika waktu malam menjelang, ia membawa lampu teplok sebagai penerang.
Setelah menyelesaikan 41 kali khataman, pada suatu malam, ia melihat sosok lelaki sepuh bersurban kuning yang agak lusuh dengan postur tubuh tidak begitu tinggi. Dengan tenang lelaki itu menyapanya;
“Ulaopo koen ngaji thok onok kene?” (Kenapa kamu sering membaca al-Qur’an di sini?). Busyro balik bertanya, “Peserah panjenengan?” (Siapa Anda?). “Ye engkok riah se ekocak oreng Mbah Amin, Mbah Amin jiah!” (Ya saya ini yang namanya Mbah Aminullah!).
Setelah menyadari bahwa lelaki sepuh di hadapannya adalah Kiai Aminullah yang terkenal sakti, Busyro segera minta wiridan yang sedikit bacaannya tapi berkhasiat untuk segala kebutuhan. Kiai Aminullah pun memberinya wirid dua kalimat dari ayat al-Qur’an. Tapi Busyro tidak menulisnya, malah setelah itu ia tidur. Setelah terjaga dari tidurnya, ia pun lupa akan wirid pemberian Kiai Aminullah itu. Kemudian Busyro melaporkan peristiwa itu kepada KH Cholil Nawawie. Tampaknya Kiai Cholil menyesalkan hal itu. beliau mengatakan, “Je’ anuah, deddih kiaeh rajeh be’en!” (Seandainya kamu tidak lupa bacaan itu, kamu pasti jadi kiai besar!).
Diceritakan juga bila ada burung terbang di atas makam Kiai Aminullah, pasti burung itu akan jatuh atau tersangkut di pohon. Kejadian itu berulang-ulang disaksikan oleh banyak orang, termasuk salah satu Keluarga PPS. Pernah juga ada seorang santri meminta izin kepada KH Abd. Alim Abd. Djalil melalui putra beliau, Mas Muhammad, untuk mengaji alQur’an di makam Kiai Aminullah. Permohonannya pun direstui, namun Kiai Lim berpesan, “Iyo oleh, tapi ojok lungguh lurus endase, weddhi nggak kuat”. Boleh saja membaca alQur’an di pesarean Kiai Aminullah. Tapi duduknya jangan sejajar dengan letak kepala Kiai Aminullah. Karena dikhawatirkan nanti akalnya tidak kuat, sehingga menyebabkan terjadi perubahan akal (gila).
Disadur dari buku ‘Jejak Langkah Masyayikh Sidogiri’
Trackbacks/Pingbacks