ProfilUnggulan

Datuk Kalampayan Martapura, Ulama Besar dari Tanah Banjar Part II (Habis)

Setelah dewasa, Syekh Arsyad menikahi wanita pilihan sultan yang bernama Siti Aminah. Ia adalah perempuan yang shalihah dan juga sangat taat serta berbakti kepada suaminya. Namun demikian, setelah 35 tahun tinggal di istana dan mendapatkan pendidikan yang sangat baik, terlintas dalam hati Syekh Arsyad untuk menimba ilmu ke Haramain.

Selama belajar di Haramain, Syekh Arsyad dibiayai oleh kerajaan, sehingga ia mampu membeli rumah di daerah Syamsiyah, Mekkah, yang sampai saat ini masih dipertahankan oleh imigran Banjar. Kampung Syamsiyah ini juga disebut dengan Barhat Banjar.

Kebetulan saat itu tidak hanya Syekh Arsyad saja yang diberangkatkan. Ada dua tokoh lain yang ikut diberangkatkan oleh Sultan Tahmidullah, yaitu Syekh Abdul Hamid yang dikenal dengan sebutan Datuk Ambuluang dan Syekh Muhammad Nafis bin Idris al-Husain, yang lebih dikenal dengan sebutan Datuk Nafis.
Selain rombongan Borneo, pada saat itu ada pula tokoh Nusantara lain yang menempuh pendidikan agama di tanah Haram. Mereka adalah Syekh Abdus Shomad al-Falimbani, Syekh Abdur Rahman al-Mashri al-Batawi dan Syekh Abdul Wahab al-Bugisi.

Selama di Haramain, Syekh Arsyad mengambil sanad keilmuan dari beberapa ulama Arab, di antaranya Syekh Athaillah bin Ahmad al-Mihsri al-Azhar, Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, Madinah, Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Samany al-Madany, Syekh Ahmad bin Abdul Mun’im ad-Damanhuri, dan masih banyak lagi.

Selain itu, Syekh Arsyad juga berguru kepada ulama-ulama Nusantara yang sudah lama mukim di Haramain seperti Syekh Abdur Rahman bin Abul Mubin Pauh Bok al-Fathani, Syekh Muhammad Zain bin Faqih Jalaludin Aceh, Syekh Muhammad Aqib bin Hasanudin al-Falimbani, dan masih banyak lagi.

Syekh Arsyad menghabiskan waktu selama 35 tahun di sana dan akhirnya kembali ke Nusantara bersama Syekh Abdur Rahman al-Mashri al-Betawi, dan Syekh Abdul Wahab al-Bugisi pada tahun 1186 H/1773 M.
Setelah kembali ke Nusantara, Syekh Arsyad diminta oleh Syekh Abdur Rahman al-Mashri al-Betawi untuk tinggal di rumahnya, Batavia. Di sana, Syekh Arsyad sempat mengajarkan ilmu dan membetulkan arah kiblat beberapa masjid.

Dua bulan lamanya tinggal di Batavia, Syekh Arsyad berpamitan untuk kembali ke Banjar. Meskipun di Banjar sudah berdiri kesultanan Islam sejak kepemimpinan Sultan Surian Syah atau Sultan llah, tetapi perkembangan Islam di sana tidak berkembang secara signifikan. Pemeluknya hanya berasal dari kalangan muslim Melayu dan sedikit sekali yang menjalani syariat dengan baik.

Melihat hal tersebut, Syekh Arsyad kemudian mendirikan lembaga-lembaga pendidikan Islam di Martapura agar ia dapat mengenalkan gagasan-gagasan keagamaan terhadap masyarakat sekitar. Mula-mula Syekh Arsyad mendirikan sebuah langgar untuk menampung para pembelajar. Namun, semakin hari malah semakin bertambah banyak murid-murid berdatangan.

Di lembaga pendidikan tersebut, Syekh Arsyad mengajarkan beberapa bidang keilmuan seperti al-Qur’an, baca tulis Arab Melayu, Fikih, Nahwu, Sharaf, Tafsir, Hadis, Tauhid, dan lain-lain.

Dalam berdakwah Syekh Muhammad Arsyad memiliki metode tersendiri, yang di antara satu dan yang lainnya saling menunjang. Adapun metode yang digunakan ialah pertama bil-hal. Metode ini adalah keteladanan yang baik (uswatun hasanah) yang direfleksikan dalam tingkah laku, gerak gerik dan tutur kata, sehari-hari dan disaksikan secara langsung oleh murid-muridnya.

Kedua ialah bil-lisan, yaitu dengan mengadakan pengajaran dan pengajian yang bisa diikuti siapa saja, baik keluarga, kerabat maupun sahabat. Ketiga adalah bil-kitabah, yaitu menggunakan bakat yang ia miliki di bidang tulis menulis, sehingga lewat ketajaman penanya, lahirlah kitab-kitab yang menjadi pegangan umat.

Ada banyak karya yang ia hasilkan. Di antaranya, bahkan sudah tersebar di beberapa negara tetangga, seperti kitab Sabil Al-Muhtadin li at-Tafaqquhi fi Amri ad-Din, yang diselesaikan pada Ahad, 27 Rabiul Akhir 1195 H/1780 M. Dengan karyanya ini, kemasyhuran Syekh Arsyad sampai ke Malaysia, Brunei, dan Pattani (Thailand Selatan).

Pada tahun 1807 M, Allah Swt memanggil Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari menghadap-Nya pada usia 105 tahun. Ia dimakamkan di Kalampayan, Kacamatan Astambul, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, dan hingga kini makamnya banyak diziarahi masyarakat muslim.

Penulis: Ulil Absor
Editor: Muhammad Ilyas

Shares:
Show Comments (0)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *