Artikel

Setetes Air Mata Orang Tua, Jalan Menuju Neraka

Prolog

Santri itu marah melihat perempuan tua berbaju lusuh -bahkan banyak roberakan- mendatanginya ke Sidogiri. Apalagi ketika melihat sandal yang dia gunakan ternyata “berselingkuhan”-yang kanan bermerek Swallow warna merah, yang kiri bermerek Skiway berwarna biru, hatinya semakin tenggelam dan terhanyut perih dalam amarah.

Pergaulannya yang penuh kemewahan di Sidogiri, meski hasil ngutang sana-sini, telah membuat hatinya tertutup untuk bisa mengerti arti perjuangan yang selalu dilakukan oleh perempuan tua yang tak lain adalah ibunya sendiri.

Jauh-jauh dari pulau Madura bersimbahkan peluh dan lesu, semuanya terobati ketika anaknya terlihat dari kejauhan, pelan-pelan mulai menghampirinya. Dia tahu, bahwa di akhir tahun seperti ini, banyak wali-santri yang datang ke Sidogiri. Dia tidak mau melihat anaknya hanya bengong sendirian. Karena alasan itulah, sekarang dia berada di sana.

Namun, bukannya bahagia melihat ibunya datang, anak itu justru merasa malu. Dia takut teman-temannya yang rata-rata anak orang kaya tahu bahwa dirinya tak lebih hanyalah anak orang miskin dan melarat. Menoleh kesana-kemari, melihat-melihat anak santri yang lalu lalang di sekitarnya. Jangan sampai teman-teman melihat ibu saya, doanya dalam hati.

                Skenario Tuhan akhirnya terjadi. Gerombolan teman-temannya berjalan, dan –mungkin hanya kebetulan- melewati dirinya yang sedang terpaksa menemui ibunya. Anak itu panik. Diam-diam dia berdiri. Agak menjauh dari lemek usang tempat ibunya duduk.

Teman-temannya yang melihat kemudian bertanya, “Kiriman? Orangtuanya mana?” Anak itu kebingungan. Haruskah saya beritahu ibuku yang seperti ini. Namun dengan penuh kesadaran, dia tunjuk perempuan paruh baya yang dari penampilannya terlihat jelas bahwa dia orang kaya. Perempuan itu berada tepat di samping ibunya. Sungguh sangat keterlaluan! Dia tidak menunjuk ibunya sendiri!

Ibunya yang melihat jelas semua kejadian yang diperankan anaknya yang seperti Malin Kundang itu hanya diam penuh keheranan, sebelum akhirnya dia menangis karena sadar, bahwa anaknya tidak pernah mengharapkan disini. Di Sidogiri. Bahkan, kini dia tahu bahwa anaknya malu memperkenalkan dirinya kepada teman-temannya sebagai ibu sendiri.

 

Mereka Surga Kita

Sebuah cerita yang cukup membuat hati ngilu. Kita tahu, salah satu busur panah yang bisa membuat perih hati nurani adalah, tidak diakui di hadapan diri sendiri. Apalagi dengan orangtua yang tidak diakui oleh anaknya di depan teman-temannya!?

Dalam firman-Nya, Allah banyak memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada kedua orangtua, khususnya kepada ibu. Sepeti dalam surah an-Nisa’ ayat 36; al-Isra’ 23-24; al-‘Ankabut 08; dan surah Luqman ayat 14. Lebih dari itu, Allah kadang menyandingkan berbuat baik kepada orangtua dengan menundukkan jiwa menyembah kepada-Nya. Semua itu menunjukkan betapa birul walidain (berbuat baik kepada orantua) sangatlah tinggi derajatnya. Bahasa sederhananya, derajat birul walidain “menyamai” menyembah kepada-Nya.

Di samping al-Quran, birul walidain juga banyak dijelaskan dalam hadis nabi. Sahabat Abdullah bin Mas’ud pernah bertanya kepada Nabi Muhammad, “Pekerjaan apa yang paling dicintai Allah?” Nabi Muhammad menjewab, “Shalat tepat waktu. birul walidain.” “Kemudian apa?” Ibnu Mas‘ud bertanya lagi. “Jihad fi Sabilillah.” Jawab Nabi (HR Bukhari Muslim).

Dengan hadis ini kita bisa tahu, bahwa selain al-Quran, ternyata Nabi Muhammad juga menyandingkan birul walidain dengan menyembah kepada-Nya (shalat). Semua itu semakin meneguhkan kedudukan mulia orangtua, yang belakang ini tanpa kita sadari telah terkikis habis oleh krisis moral era global yang menempa kita.

Melihat semua kemulian yang diberikan agama kepada orangtua, tidak heran jika kita merasa aneh dengan kisah memilukan pada prolog di atas. Apalagi anak itu seorang santri! Kita harus tahu, bahwa linang airmata orangtua akan menjadi tangga pahala, jika tangis itu karena terharu atau mungkin bangga dengan diri kita. Namun, jika airmata itu adalah anak sungai dari duka karena melihat tingkah laku anak-cucu yang tidak sopan dan kurang ajar, maka, airmata orangtua adalah tetesan noktah yang diam-diam akan menghanyhutkan kita dalam kubangan hitam dosa sendiri.

Singkatnya, bila kita bisa membuat mereka bahagia, orangtua tak ubahnya titian anak tangga yang bisa mengantarkan kita ke surga. Namun, jika kita membuat mereka sengsara, sama halnya kita mengharapkan ikatan tali di atas sirathal mustaqim menjeratkan kita ke dalam kobaran api neraka.

Setiap muslim yang tahu tatakrama dalam agama tentu tidak akan pernah mau meninggalkan dunia ini dalam keadaan orangtua tidak ridha atau rela pada kita, walaupun itu hanya amarah-gelisah sebesar biji padi di tangan petani.

Seharusnya, kita sudah cukup kapok dengan cerita Sahabat Handzalah yang mengalami kesulitan saat sakaratul maut, hanya karena luka yang pernah dia gores tanpa sengaja di dalam hati ibunya.

Jika sahabat yang berada di samping Nabi Muhammad saja mengalami kesulitan karena menyakiti hati orangtua, apalagi dengan kita yang bukan apa-apa, bahkan berlumuran penuh dengan dosa!?

/Eliy Buya

Shares:
Show Comments (0)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *