“Kita kembali ke diri sendiri, kita semua tahu siapa beliau. Kita pasti kehilangan sosok seperti beliau, sosok seperti beliau ini sulit ditemukan,” Ungkap Mas Khalid ketika ditemui oleh Redaksi sidogiri.net di kediaman beliau, pada malam Rabu (07/08).
“Ini sudah tidak bisa diungkapkan lagi.” Sedih, merasa kehilangan, semuanya bercampur jadi satu. Itulah yang dirasakan oleh Mas Khalid, ketika mendengar kabar wafatnya Mbah Moen. “Saya dulu punya harapan semoga Mbah Moen itu hidup selamanya, toh sekalipun itu tidak mungkin, tapi itu kan Cuma harapan.”
Untuk mengenang sosok beliau, Mas Khalid, putra KH. Kholil Abdul Karim, menyampaikan pesannya, “Sebagaimana yang sering beliau sampaikan di pengajian, jadilah orang alim. Orang alim itu harus sadar zamannya. Jadilah orang yang kondisional, tau zaman!. Misalkan zamannya digital, kita gak mungkin dong melawan digital. Dulu panah sekarang pistol. Itu harus disikapi dengan bijak lah. Terus santri harus berkontribusi besar, pegang ajaran-ajaran salaf, karena memang ajaran salaf ini yang Mbah Moen perjuangkan. Mulai dari ngaji kitab kuning, ngaji bandongan atau sorogan itu benar-benar mewakili khas pesantren. Dan itu harus kita terus lestarikan jangan sampai hilang.” Pesan perintis chanel YouTube Guyonan Santri ini.
Beliau juga menyampaikan beberapa pesan Mbah Moen yang sempat beliau dengar secara langsung, “Pesan beliau ke santri-santri baru itu gak muluk-muluk, yang beliau tekankan itu kerasan, karena kalau kerasan nanti bisa beradaptasi dengan baik.” Karena jika seorang santri betah berada di pesantren, meskipun awalnya jarang belajar, males beribadah, lama kelamaan karena sudah betah akan jadi terbiasa mengikuti arus.
“Beliau juga pernah berpesan dalam bahasa arab, intinya Pelajarilah al-Quran itu, dalam arti mendalami.” Ungkap Mas Khalid, sambil mengingat-ingat pesan Mbah Moen tersebut. Karena seperti yang kita tahu, sekarang ini al-Quran memang sering dibaca, tapi jarang sekali ada yang merenunginya. Jika kita mau berkaca pada ulama-ulama salaf, sebenarnya kita harus berusaha memahami al-Quran, jangan hanya sekadar membaca. Mujtahid pertama, Imam Abu Hanifah, beliau adalah orang ‘Ajam, bukan orang Arab. Namun beliau mampu memahami al-Quran secara sempurna, itu karena jiwa beliau bersih. Bahkan banyak ulama-ulama Nusantara yang ‘tidak bisa’ bahasa Arab, tapi beliau mengarang kitab sampai berjilid-jilid.
Pesan Mbah Moen yang paling sering beliau sampaikan adalah, “dadio wong alim, mergo wong alim iku uripe kepenak. (Jadilah orang alim, karena orang alim itu hidupnya pasti nyaman. Red)” Ucap Mas Kholid, sambil menirukan gaya Mbah Moen. Pesan Mbah Moen yang lain, yang Mas Khalid ingat adalah, “ngono yo ngono, keng ojo ngono. Itu yang masyhur!” terang Mas Khalid. Pemahaman yang Mas Khalid tangkap dari pesan tersebut adalah, kita boleh beribadah, tapi jangan memaksakan hal itu ke orang lain. Jangan paksa orang lain untuk meniru kita. Kalo kita merasa benar, kita tidak perlu menyalah-nyalahkan orang lain. Intinya, ke orang lain itu kita harus tasamuh (toleran. Red). “Tapi untuk saya pribadi, ketika awal mondok, pesan beliau pada saya itu supaya saya kerasan, agar betah.”
_____
Penulis: Kanzul Hikam
Editor: Saeful Bahri bin Ripit