Berita

Baca konten porno, lalu syahwat. Siapa yang salah ?

Malam selasa, (24/01), seperti biasanya, dalam musyawaroh yang dilaksanakan di komisi A malam itu, terlihat para musyawirin antusias dengan berbagai macam argumen dan ibarot yang telah disiapkan, apalagi meninjau permasalahan yang dibahas malam itu bersangkutan dengan pornografi, yang memang menjadi sesuatu yang meresahkan dalam dunia pesantren.

KH. Muhibbul Aman Ali (kanan) dari Pondok Pesantren Raudhatul Ulum, Kajayan, Besuk, Pasuruan dan KH. Musyaffak Bisri (kiri)

Malam itu, tersingkap beberapa fakta yang mungkin tidak banyak dari kalangan santri yang mengetahuinya. Berawal  dari gus Muhib yang penasaran dengan kitab fathul izar yang menjadi pembahasan malam itu. Sehingga tersingkap bahwa fathul izar adalah kitab yang belum jelas siapa pengarang sebenarnya, dengan meninjau susunan lafadz di dalamnya yang memang agak kacau, menurut beliau. “sebelum kita membahas permasalahan, apalagi membahas sebuah kitab, kita harus mengetahui kejelasan permasalah, dan kitab yang akan kita bahas. Dalam kitab fathul  izar yang menjadi pembahasan malam ini, saya tidak menemukan pengarang pastinya. Ketika saya cari di internet ada yang mengatakan bahwa kitab ini dikarang oleh orang pasuruan, tapi saya belum menemukan tendensi kuatnya.” Keterangan beliau di tengah-tengah musyawaroh.

Baca juga: Kaifa, Satu-satunya Musyawarah Akidah di Sidogiri

Dalam sesi akhir musyawaroh malam itu, beliau juga menjelaskan bahwa kita harus membedakan konten bacaan yang berbau porno dengan kitab muktabar  yang membahas bab jima’. “dalam pembahasan kita harus membedakan antara novel porno yang memang dikarang dengan tujuan menggiring pembaca membayangkan apa yang ada didalamnya, dengan kitab yang membahas tentang jima’ dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Dari tujuan pengarang menulis saja sudah jelas perbedaan diantara keduanya, meskipun keduanya berkemungkinan menimbulkan  syahwat .” Terang gus Muhib menashih pembahasan malam itu.

Baca juga:Ubudiyah Adakan Diklat di DAS

Selain perbedaan kitab dan novel yang sudah jelas beda, dalam kesempatan itu gus Muhib juga menjelaskan bahwa hal tersebut meninjau pembaca yang memang mempunyai gambaran dan bayangan yang berbeda-beda. “sebenarnya dalam masalah syahwat itu tergantung siapa yang membaca. Pikiran orang yang mondok 30 tahun belum menikah, dengan anak yang masih baru menginjak dewasa itu berbeda. Jangankan melihat wanita, melihat kitab bab jima’ saja mungkin pikiran mereka sudah membayangkan hal yang aneh-aneh. Jika terjadi seperti itu, siapakah yang disalahkan, sekali lagi saya tekankan, jangan salahkan kitab, tapi salahkan orang yang membaca, kenapa mereka sampai syahwat membaca kitab tersebut, karena memang dari tujuan pengarang kitab bukan untuk menyuruh atau mengajak kepada syahwat, tapi hanya menjelaskan tentang tata cara dan sebatas pengetahuan agar kita tidak terjerumus kedalam perkara yang tidak disukai Allah.” Pungkas penjelasan beliau sekaligus menutup acara malam itu.

Baca juga: Habib Muhammad Ali bin Taufiq Baroqbah: Kewajiban Menutup Aurat Merupakan Ibadah

________

Penulis: Alfin Nurdiansyah*

Editor: Saeful Bahri bin Ripit

*Redaksi Mading Maktabati

Shares:
Show Comments (0)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *