Malam sabtu (21/09) Annajah Center Sidogiri (ACS) mengadakan mentoring sebagaimana yang telah terjadwal, mulai dari jam 09.00 sampai 10.10 Wis. Bertempat di ruang istirahat guru mabna al-Ghazali, mentoring kali ini mennghadirkan Ust. Fauzan Imron, dewan pakar Aswaja, sebagai pemateri untuk membahas tema “Ilmu Kalam dan Filsafat dalam Pandangan Aswaja”. Acara ini di ikuti oleh seluruh anggota ACS semester I.
Diawal penjelasannya Ust. Fauzan Imron menerangkan ta’rif dari ilmu kalam dan filsafat dengan panjang lebar. Filsafat secara etimologi adalah diambil dari bahasa latin, Philosopiah (philen = cinta dan sephos = kebijaksanaan). Sedangkan secara terminologi, adalah pembahasan segala hakikat sesuatu secara logika yang dapat mendatangkan kebijaksanaan (Socrates).
Ilmu kalam secara etimologi adalah pengetahuan tentang hakikat tunggal sesuatu. Dan secara terminologi adalah ilmu tentang aqidah yang diambil dari dalil-dalil yakin. Ibnu Khaldun dan Imam al-Ghozali mengatakan, ilmu kalam adalah ilmu yang menyimpan beberapa hujjah tentang akidah. Ilmu kalam juga digunakan untuk menolak kelompok-kelompok menyimpang.
Nama lain Ilmu kalam: 1.) Ilmu akidah 2.) Ilmu usuluddin 3.) Al-Fiqh al-Akbar 4.) Ilmu tauhid.
Mengenai ilmu kalam ulama berbeda pendapat dalam legalitas pempelajari ilmu ini, alasan beberapa ulama yang menolak ilmu kalam adalah karena ‘trauma’ dengan ilmu filsafat. Karena secara garis besar, pokok keyakinan para ahli filsuf klasik tidak lepas dari:
- Alam qadim
- Para filsuf derajatnya lebih tinggi dari Nabi
- Tidak percaya pada hari kebangkitan
- Kenikmatan surga dan siksa neraka hanya bersifat rohani bukan fisik.
Sehingga para ulama khawatir orang yang mempelajari ilmu kalam akan terjerumus ke lembah kesesatan sebagaimana Qadariyah, Muktazilah dll. Jika meninjau keterangan di atas, jelas mempelajari ilmu yang dapat mengantarkan pada pengertian sebagaimana yang diyakini oleh para filsuf, yang notabene timbul dari ilmu filsafat, hukumnya tidak diperbolehkan. Seperti ilmu kalam, karena ilmu kalam mempunyai keserupaan dengan ilmu filsafat, yakni keduanya sama-sama menggunakan akal dalam peng-istidlalannya.
Baca juga: Gus Muhib: Ahlusunah Wal Jama’ah Tidak Menempatkan Akal di Atas Teks-teks Agama
Namun perlu di ketahui, tidak seperti ulama Mutakallimin, para filsuf selalu menggunakan akal sebagai tendensi mereka, sehingga ketika ada hal dalam agama yang tidak masuk akal akan mereka tolak, “jadi harus masuk akal dulu baru mereka akan mengimani” tutur Ust. Fauzan Imron. Berbeda dengan ulama Mutakallimin yang menempatkan teks agama di atas logika, sehinga ketika ada sesuatu yang tidak masuk akal dalam agama maka logika tidak boleh dimenangkan.
Terlepas dari itu semua, Ibnu Khaldun memberi penjelasan mengenai perbedaan ilmu kalam dan filsafat. Perbedaan keduanya dapat ditinjau dari tiga sisi:
- Obyek kajian: kajian ilmu filsafat mencakup fisika, sains dan etika. Sedangkan obyek kajian ilmu kalam adalah pokok-pokok agama (Usuluddin).
- Metode: Filsafat menggunakan akal sebagai tendensi dan membuang semua hal yang tidak masuk akal. Sedangkan ilmu kalam tendensi utamanya adalah naql dan diperkuat dengan istidlal akal.
- Tujuan akhir: Tujuan akhir ilmu kalam adalah iman kepada Allah. Sedangkan tujuan akhir ilmu filsafat adalah sesuai dengan logika.
Baca juga: Ust. Fauzan Imron: Nabi Adam Tidak Pernah Bermaksiat
Dari tiga poin ini, kita dapat menyimpulkan bahwa ilmu kalam tidak akan mengantarkan kita pada pengertian seperti yang diyakini oleh para filsuf. Dari sinilah, Imam Nawawi memberi kesimpulan bahwa ilmu kalam adalah bidah yang wajibah. Begitu juga Imam Syafi’i sebagaimana yang dikutip oleh imam az-Zabidi mengatakan, Mutakallimin yang mengaplikasikan ilmu kalam di atas rel agama serta sesuai dengan nash adalah mutakallimin yang hakiki.
_______
Penulis: Kanzul Hikam
Editor Saeful Bahri bin Ripit