Artikel

Mengajak bukan Mengejek

Mengajak, bukan mengejek, mungkin sudah cukup untuk mendeskripsikan dakwah ala santri. Dengan kata “mengajak”, mencerminkan bahwa santri adalah sosok pendakwah sejati. Dengan kata lain, meskipun berdakwah, santri tidak membabi-buta. Sehingga terkesan “menyilakan”, bukan memaksa.

Kamus Besar Bahasa Indonesia memaknai mengajak dengan: membangkitkan hati supaya melakukan sesuatu. Bukanlah santri jika berdakwah dengan tanpa cara. Karena santri adalah sosok yang berpegang teguh pada al-Quran dan Sunnah. Sedangkan Rasulullah SAW tidak pernah mengajarkan begitu. Beliau lebih suka jika dilakukan secara perlahan, tapi pasti. Agar nilai “sopan santun” Islam tidak hilang. Sebab meski bagai manapun, budi pekerti jauh di atas ilmu.

Terkadang sebagaian santri yang—agak—alim langsung mengembalikan semuanya pada ilmu. Jika menurut ilmunya salah, maka harus diberantas. Saya tidak menyalahkan itu. Akan tetapi, caranya kurang benar. Ingatlah, sebaik apapu pekerjaan jika ditempuh dengan cara yang salah maka jadinya salah. Sesuai rumusan, plus ditambah minus sama dengan minus.

Ingatlah salain ilmu, ada akhlak yang sama pentingnya untuk dipelajari. Keduanya harus dikombinasikan. Tidak boleh salah satunya! Akhlak tanpa ilmu akan menjadi fasik. Sedangkan ilmu tanpa akhlak berkaibat kafir zindiq.

Teringat pada salah satu kisah. Kurang lebihnya begini: seorang santri yang mumpuni dalam berbagai disiplin ilmu, pamit kepada pengasuhnya untuk boyong. Anehnya sang kiai malah bertanya,

“Cukupkah ilmumu untuk berhadapan dengan masyarakat?”

Insya Allah cukup, Kiai!”

Dengan begitu, kiai mengidzinkan dia boyong. Karena ketepatan hari Jumat, dia shalat Jumat di perjalanan. Dia mampir di salah-satu masjid jami’ di kotanya. Alangkah mengejutkan, ketika khutbah, sang khatib malah menghina para sahabat Nabi.

Di tengah-tengah ribuan jamaah, spontan dia menyanggahnya. Tapi sial, malah dia digebukin oleh ribuan jamaah tadi.

Dari kisah di atas, pentingnya akhlak dalam mengamalkan keilmuan tak terbantahkan. Lihatlah contoh santri di atas. Jangankan dikampung halaman. Di tengah jalan pun sudah tidak bisa.

Kita memang di bebankan amanah dakwah. Tapi cara dakwah itu juga harus digaris bawahi. Jagn sampai karena dakwah kita yang terlalu ekstrim, menjadi penyebab tercemarnya nama baik pesantren.

Shares:
Show Comments (0)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *