Sosok Uswah Hasanah

Kiai Abd. Djalil lahir dan besar dari keluarga yang agamis. Ayahnya bernama Kiai Fadlil bin Sulaiman bin Ahsan bin Zainal Abidin (Bujuk Cendana), nasabnya bersambung ke Sayid Qasim (Sunan Drajat) bin Sayid Rahmatullah (Sunan Ampel). Sedangkan ibunya bernama Nyai Syaikhah binti Syarifah Lulu’ binti Sayid Abu Bakar asy-Syatha ad-Dimyathi, pengarang kitab I’ânah ath-Thâlibîn. Jadi, dari jalur ibu, Kiai Abd. Djalil adalah cicit dari pengarang kitab terkenal itu. (Kiai Abd. Djalil bukan putra KH. Abd. Syakoer seperti yang pernah tertera dalam kalender resmi Pondok Pesantren Sidogiri. Kiai Abd. Syakoer adalah mertua Kiai Fadlil, dan Kiai Syakur itu menjadi menantu Syekh Syatha).
Sosok Kiai Fadlil memang tidak banyak dikenal. Dalem beliau ada di desa Warungdowo (sekarang menjadi kantor BMT-MMU). Dalam kesehariannya, beliau berdagang kain. Namun darah keilmuan tetap mengalir deras pada menantu cucu Syekh Syatha ini.
Tentang sosok Kiai Fadlil. Kakak Kiai Nawawie, Kiai Dahlan, pernah berkata, “Fadhil iku alim, lek ilmune didekek nang aku gak kiro sedheng, saking de’e iku tuk-makutuk ae (Fadlil itu alim. Andaikan ilmunya diletakkan pada saya, pasti tidak muat. Hanya saja dia tidak menonjolkan diri).”
Saudara kandung Kiai Djalil ada 5 orang, 3 putra dan 2 putri, yaitu: Abd. Djalil, Zainal, Achmad Salim, Nyai Aminah, dan Nyai Mutammimah. Zainal dan Salim meninggal dalam usia remaja; sementara Nyai Aminah menikah dengan Syekh Iskandar, Surabaya. Dan Nyai Mutammimah kawin dengan Kiai Syukur dari desa Wangkal (abah Kiai Bahar, Warungdowo).
Abd. Djalil tumbuh dan besar sebagaimana layaknya anakanak yang lain, bergaul dan akrab dengan teman-temannya. Namun, menurut Kiai Bahar -teman sepermainannya- saat masih kanak-kanak, Kiai Djalil sudah tampak kewaraannya. Di saat teman-temannya makan tebu atau mencari mangga jatuh, ia selalu menghindar tidak mau ikut.
Beranjak remaja, Kiai Djalil lebih suka mempergunakan masa kecilnya untuk memperdalam ilmu-ilmu agama. Di samping bimbingan dari abahnya sendiri, beliau juga dididik oleh uwak-nya (paman) sendiri, Kiai Ahsan, Banjar Probolinggo.
Secara fisik Kiai Djalil mirip dengan Kiai Bahar, keponakannya, yang kini tinggal di desa Warungdowo. Pribadinya tenang, menunjukkan kematangan jiwa. Jika berjalan selalu menunduk, sabar, dan penuh syafaqah (kasih sayang).
Nyantri di Sidogiri
Suatu hari, Kiai Nawawie mendapat undangan menghadiri walimah di daerah timur Warungdowo, berdekatan dengan rumah Abd. Djalil muda. Seusai acara, Kiai Nawawie bertanya “Mana cucu Sayid Syatha?” Saat itu Abd. Djalil berada di tempat itu. “Kamu mondok di Sidogiri, ya?” kata Kiai Nawawie. Abd. Djalil pun mengangguk tanda setuju. Kiai Nawawie menawarkan Abd. Djalil mondok di Sidogiri karena merasa pernah berguru pada buyut Abd. Djalil, Sayid Syatha.
Di Sidogiri, Abd. Djalil dengan gigih dan bersungguh-sungguh mengikuti dan menyimak semua yang diajarkan oleh Kiai Nawawie. Bukan hanya ilmu dalam bentuk teori, akhlak dan pribadi luhur Kiai Nawawie juga membekas kuat dalam membentuk kepribadian Abd. Djalil.
Tidak ada kejelasan berapa tahun Abd. Djalil mengaji kepada Kiai Nawawie. Yang jelas, saat mondok di Sidogiri Abd. Djalil sudah cukup alim. Di samping langsung mengaji kepada kiai, ia juga membaca kitab di jerambah Daerah D.
Saat nyantri, sifat wara’ Abd. Djalil juga ditempa dan teruji. Selama di Pondok, ia tidak pernah menginjak sandal teman-temannya. Apalagi ghasab. Bila mau menanak, sisa kayu bakar milik temannya pasti dibersihkan terlebih dahulu, atau diminta halalnya. Saat menjemur pakaian, jika masih ada pakaian santri lain yang dijemur dan saat itu sudah kering serta tidak ada tempat lain, beliau tidak akan memindah pakaian itu, khawatir si empunya tidak rela.
Diambil Menantu Kiai Nawawie
Setelah beberapa tahun nyantri di Sidogiri, Abd. Djalil bermaksud boyong. Nah, saat minta restu Kiai Nawawie, ia ditawari menikah dengan putri beliau, Nyai Hanifah. Dengan persetujuan keluarganya, Abd. Djalil mengiyakan.
Menurut satu cerita, Kiai Nawawie mengambil menantu Abd. Djalil disamping karena kewara’annya. Juga dilatarbelakangi kejadian yang agak aneh. Pada suatu malam, ketika semua santri terlelap tidur, Kiai Nawawie sambil wiridan berjalan-jalan melihat keadaan santri. Di tengah deretan bilik yang dilalui, beliau dikejutkan oleh cahaya yang memancar dari salah seorang santri yang sedang tertidur. Namun, karena keadaan gelap, beliau kesulitan untuk mengenal santri yang memancarkan sinar itu. Kiai Nawawie lalu mengikat sarung anak yang memancarkan cahaya tersebut.
Keesokan harinya, sehabis menunaikan salat Subuh berjamaah, Kiai bertanya siapa yang sarungnya terikat tadi malam. Ada yang menjawab “Djalil, Kiai.” Lalu dipanggillah Kiai Djalil ke dalem dan ditawari untuk ditunangkan dengan Nyai Hanifah, putri pertamanya. “Koen dhe’ kene ta’ pe’ mantu, ya’opo? (kamu di sini saya jadikan menantu saya, bagaimana)?” Kiai Djalil pun mengangguk.
Karena sudah ditunangkan, Kiai Djalil yang awalnya bermaksud boyong, malah dimondokkan ke Mekah oleh Kiai Nawawie. Di tanah suci itulah ia berguru kepada tokoh ulama ‘allâmah selama dua tahun.
Diberi Amanat Menjadi Pengasuh
Jumat 25 Syawal 1347 H, Kiai Nawawie wafat, menghadap Allah SWT. Kabar ini pun kemudian sampai pada Kiai Djalil yang sedang berada di Mekah, dan beliau diminta pulang untuk menggantikan Kiai Nawawie mengasuh Pondok Pesantren Sidogiri.
Awalnya Kiai Djalil keberatan dan meminta Kiai Abd. Adzim (juga menantu Kiai Nawawie) yang diangkat. Namun Kiai Abd. Adzim juga tidak bersedia. Maka akhirnya, Kiai Abd. Djalil menerima amanat berat itu, melanjutkan perjuangan Kiai Nawawie mendidik santri menjadi generasi handal.
Dalam menjalankan tugas sebagai Pengasuh, Kiai Djalil mengikuti pola sekaligus meneruskan tradisi yang telah dirintis oleh Kiai Nawawie. Pengajian kitab yang dibaca Kiai Nawawie dilangsungkan aktif. Khataman kitab Tafsir pada setiap bulan Ramadan juga dilestarikan. Hingga ada ungkapan, “Masa Kiai Djalil tak ubahnya adalah masa Kiai Nawawie.”
Hampir selama 12 tahun Kiai Djalil memangku Sidogiri. Dalam masa itu pula, beliau mempersiapkan putra-putra Kiai Nawawie yang masih kecil-kecil agar siap menjadi Pengasuh. Praktis, semua putra Kiai Nawawie diasuh dan dibesarkan oleh Kiai Djalil.
Beliau sendiri pernah bilang, “Aku iki duduk Kiai Sidogiri, sing Kiai iku wong limo iku. (Saya ini bukan Kiai Sidogiri, yang jadi Pengasuh ya lima orang itu, putra-putra Kiai Nawawie).”
Mendirikan Madrasah
Pada saat beliau memangku pondok, sistem belajarnya adalah sistem sorogan, belum ada pendidikan madrasahnya. Karena murid semakin banyak, lalu ada yang mengusulkan untuk mendirikan madrasah. Mulanya Kiai Djalil kurang setuju dengan usulan tersebut. Di antara pertimbangan Kiai Djalil saat itu, khawatir sisa-sisa kapur tulisan al-Quran di papan tulis itu akan mudah diinjak. Dalam pandangannya, sisa-sisa kapur tulisan al-Quran itu masih dianggap al-Quran.
Namun karena santri semakin banyak dan tidak memungkinkan ikut mengaji, akhirnya Kiai setuju. Kebetulan saat itu memang sudah ada salah seorang guru tugas dari Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, namanya Nahrowi, yang mengajar di kamarnya dengan sistem seperti madrasah yang ada di Tebuireng. Namun kiai tetap mewanti-wanti supaya tetap berhati-hati. Sebisanya sisa kapur penulisan alQur’an tidak diinjak.
Tanggal 14 Shafar 1357 atau 15 April 1938, madrasah tingkat Ibtidaiyah resmi didirikan dengan nama “Madrasah Miftahul Ulum”, biasa disingkat MMU. Nama itu merupakan hasil istikharah Kiai Djalil. Pada awal-awalnya, gedung belajar murid diletakkan di Surau G, masjid, dan dalem Kiai Sa’doellah.
Dalam perjalanannya, MMU terus mengalami kemajuankemajuan. Pada bulan Dzul Hijjah 1378 H atau Juli 1957 M Madrasah Tsanawiyah didirikan. Lalu 25 tahun kemudian dibentuk madrasah Aliyah, tepatnya pada tanggal 13 Muharram 1403 H atau 21 Oktober 1982 M.
Kini, perjalanan MMU sudah mencapai 72 tahun. MMU sudah mempunyai 4 jenjang pendidikan: Ibtidaiyah (6 tahun), Tsanawiyah (3 tahun), Aliyah (3 tahun), dan Isti’dadiyah (sekolah persiapan bagi santri baru selama 1 tahun).
Madrasah yang dirintis Kiai Djalil ini sekarang sudah mempunyai cabang yang tersebar di Kabupaten Pasuruan, Madura, dan daerah Tapal Kuda. Madrasah ranting di Pasuruan disebut Tipe A, sebanyak 69 di tingkat Ibtidaiyah dan 15 di tingkat Tsanawiyah. Sedangkan yang di luar Pasuruan disebut Tipe B, sebanyak 32 di tingkat Ibtidaiyah dan 11 di tingkat Tsanawiyah. Seluruh ranting berjumlah 127. Jumlah keseluruhan murid MMU, induk dan ranting, mencapai sekitar 25 ribu. Di Pasuruan, Madura, dan Tapal Kuda, Madrasah Miftahul Ulum termasuk madrasah diniyah yang cukup bonafide dan disegani.
Bersambung ke: Biografi Kiai Abdul Jalil bagian II