Masyayikh SidogiriUnggulan

KH. Siradjul Millah Waddin Nawawie (Bagian II)

kiai sirojul millah waddin
kiai sirojul millah waddin
kiai sirojul millah waddin

Hijrah ke Desa Beujeng 

Berat, itulah barangkali perasaan yang dialami Kiai Siradj ketika harus meninggalkan Sidogiri. Tapi demi sebuah misi mulia, menegakkan syiar Islam di daerah Beujeng, ia harus rela meninggalkan kampung halamannya. Desa Beujeng tersebut asalnya sangat minus akan pengetahuan Islam, masyarakat perempuannya jika keluar atau berbelanja ke pasar hanya menggunakan selembar sewek (jawa) yang dikenakan sampai di atas payudaranya. 

Tak mudah tentunya, seorang pendatang asing berdakwah di lingkungan yang masih awam, namun dengan keilmuannya, beliau dapat beradaptasi dengan masyarakat dalam waktu yang relatif singkat. Metode dakwah yang beliau tempuh sebagai langkah awal pun sangat sederhana, yaitu mengadakan pendekatan dan pembauran dengan masyarakat sekitar, persis dengan dakwah yang dilakukan oleh Kiai Hasani, adiknya. Tak pelak, jangkauan daerah yang menjadi objek misi dakwah beliau sangat luas: mulai dari batas wilayah Pandaan-selatan Beujeng sampai Bangil, sebelah utara Beujeng. 

Yang mengagumkan dari cara pendidikan yang diberikan Kiai Siradj adalah keberadaan masyarakat yang tidak pernah terpukul atau tersinggung dengan ajakan beliau untuk mengikuti ajaran Islam yang sebenarnya. Segala keputusan yang keluar dari beliau dianggap baik dan diikuti oleh masyarakat. Dari halusnya cara Kiai Siradj memberikan suntikan pengetahuan Islam, masyarakat tidak merasa kalau sudah dibawa oleh beliau pada ajaran al-Quran dan Hadis.

Yang menambah beliau lebih dekat dengan masyarakat adalah sikapnya yang serba sederhana. Sekalipun hidup di masa modern, namun ternyata segala hal yang berhubungan dengannya tidak pernah berbau modern. Dengan kesederhanaannya tidak ada orang yang mengetahui walaupun konon, ilmu yang dimilikinya adalah ladunni. Kalau bermu’asyarah (bergaul) dengan tetangga, beliau berpakaian biasa, tidak pernah nampak menggunakan surban. Bahkan sekalipun beliau telah melaksanakan ibadah haji beliau tidak pernah menggunakan songkok putih. Beliau sangat perhatian pada masyarakatnya, terbukti beliau memberikan pengajian kitab Fikih untuk umum yang bertempat di masjid. Beliau juga mengisi pengajian Muslimatan (pengajian yang diikuti oleh kaum Muslimah) dari dalam kamarnya dengan menggunakan mikrofon. 

Selain disegani oleh para santri, beliau juga disegani dan dicintai oleh masyarakat. Setiap perkataan dan tingkah laku yang keluar dari Kiai Siradj akan diikuti oleh masyarakat, tanpa harus memberikan ceramah agama atau pidato seperti halnya yang dilakukan oleh para dai (dakwah bil hal). Memang, jarang sekali beliau memberikan wejangan. Tetapi sekali beliau mengeluarkan nasehat, masyarakat langsung meresponnya. 

Kiai Siradj adalah satu-satunya putra lelaki KH. Nawawie bin Noerhasan, Sidogiri, yang hijrah dan bertempat tinggal di luar Sidogiri. Kiai Sa’doellah, adiknya yang menjadi orang berpengaruh, sering mengunjunginya ke Beujeng untuk memberinya semangat dalam menjalani masa-masa sulitnya. 

Mendirikan Madrasah Pertama di Beujeng 

Pada awal kepindahannya ke Beujeng, Kiai Siradj hanya mengajar kitab pada para pemuda, bertempat di mushala yang kelak menjadi masjid. Kemudian Kiai visioner ini mempunyai gagasan untuk mendirikan sebuah madrasah. Gagasan mulia ini juga turut di perjuangkan oleh murid-muridnya yang berjumlah lima orang. Akhirnya berdirilah sebuah madrasah yang terbuat dan bambu dengan bantuan Mas As’ad, keponakan sekaligus putra angkat Kiai Sya’roni. Madrasah itu diberi nama Madrasah Tarbiyatus Shibyan (MTS). 

MTS yang didirikan oleh Kiai Siradj ini adalah madrasah yang pertama kali ada di Beujeng, dan merupakan pusat madrasah-madrasah yang ada di sekitarnya di kemudian hari. Madrasah-madrasah sekitar Beujeng itu adalah hasil dari didikan beliau. Sebelum Kiai Siradj hijrah ke Beujeng, penduduknya masih belum banyak mengetahui tentang Islam dan batasan-batasan yang tidak boleh dilakukan dalam syariat Islam, tapi setelah mereka menitipkan putra-putrinya pada Kiai Siradj untuk diajari pengetahuan agama, akhirnya kehidupan mereka berubah sedikit demi sedikit. 

Cara beliau mengajari masyarakat yang awam akan pengetahuan agama adalah dengan pendekatan yang halus. Yang lebih beliau utamakan adalah mendidik anak-anak kecil (generasi muda) dengan cara dimasukkan ke madrasah. Beliau sendiri yang menguji murid yang ada pada saat itu. Yang mengenyam pendidikan di MTS tersebut bukan hanya dari masyarakat setempat, tapi juga dari Pandaan, Bangil, Sukorejo Pasuruan, dan daerah lainnya. Hal ini tidak mengherankan, karena saat itu, MTS Beujeng adalah satu-satunya madrasah yang ada dan aktif di wilayah pedesaan antara Pandaan dan Bangil. 

Klasifikasi tingkatan kelas yang ada di madrasah yang didirikan Kiai Siradj itu berbeda dengan madrasah di Sidogiri. Karena disana sebelum menginjak tingkatan Ibtidaiyah ada kelas sifir (kelas 0) ,lalu kelas 1A, 1B, 1C, dan 1D. Baru setelah , pada waktu melakukan ringen sepedanya menginjak pada pelajaran Alfiyah. Materi peIajaran yang ada seperti halnya yang ada di PPS. Adapun staf pengajarnya adalah anak didik beliau sendiri yang telah dianggap mampu untuk diterjunkan menjadi guru. Memang sifat beliau dalam memberikan pelajaran adalah mendidik dan menghargai ilmu ilmu orang lain. Dalam artian, jika ada orang lain yang dirasa mampu, maka beliau serahkan (muridnya) pada orang itu, sekalipun orang itu adalah anak didiknya sendiri. Beliau hanya mengawasi jika ada yang masih perlu mendapat pembenahan.  

MTS Kiai Siradj tersebut hanya terbatas sampai tingkatan Ibtidaiyah saja, karena keterbatasan murid yang melanjutkan ke jenjang Tsanawiyah. Meskipun demikian, kualitasnya tidak diragukan lagi, buktinya setiap anak yang lulus dari Beujeng dan melanjutkan ke PPS langsung diterima tanpa melalui test terlebih dahulu. 

Disamping mengajar di madrasah dan mendidik sendiri putra-putrinya, Kiai Siradj juga mendidik dan mengajar putra-putri Kiai Sya’roni dan sepupu-sepupunya. Sedangkan kitab yang diajarkan selain al-Qur’an adalah Sharaf dan Jurumiyah, pelaksanaannya setelah salat Isya. Beliau juga memberikan pengajaran khusus kepada guru-guru yang mengajar di Beujeng, bahkan Pengurus PPS juga mengaji kepadanya. Kiai Siradj mengajar dengan metode klasik. Segala sesuatunya tidak berbau modern sama sekali. 

Hari berganti bulan dan bulan pun berganti tahun, madrasah yang dirintis oleh Kiai Siradj semakin besar dan maju. Tak aneh bila kemudian muncul konflik di antara murid-muridnya yang ingin menggantikan kedudukan beliau. 

Mendirikan Pondok Pesantren 

Beberapa lama setelah didirikannya MTS, banyak murid madrasah tersebut yang bermukim di sana, hingga akhirnya, Kiai Siradj membangun  sebuah pondok pesantren.  

Peraturan di pondok pesantren ini sangat ketat, lebih-lebih dalam salat berjamaah. Jika ada seorang santri yang tidak melakukan sholat sunat rawatib yang dikerjakan sebelum dan sesudah melaksanakan salat berjamaah. Maka, ia akan diberi tindakan membaca salawat selama sehari dan dijemur di bawah terik matahari. Demikan juga bila tidak mengikuti kegiatan salat berjamaah. “Biar murid tidak kerasan, dan biar hanya lima murid saja, pokoknya di akherat bisa dipertanggungjawabkan. Walaupun murid saya banyak kalau di akherat nanti tidak ikhlas, saya yang berat menghadapi Allah SWT,” demikian pedoman Kiai Siradj. Sebab syarat murid ikhlas adalah salat qabliyah dan ba’diyah, kalau tidak melaksanakan salat qabliyah dan ba’diyah, tandanya murid itu tidak ikhlas. Kalau ada kiai yang muridnya tidak ikhlas, nanti kiainya yang ada di neraka,” tandasnya lagi. Dalam memberi tindakan pelanggaran bagi santri yang tidak mengikuti jamaah, atau tidur ketika wiridan setelah salat berjamaah, beliau sering memberikan tindakan bukan hanya pada pelaku pelanggaran, tetapi semua santri. Sehingga antara santri yang satu dengan yang lain saling tegur-menegur, supaya tidak terjerembap dalam pekerjaan yang bisa menimbulkan pelanggaran. 

Dalam memberikan pengajaran kepada santri-santrinya, Kiai Siradj mengutamakan pengajian kitab Fikih. Pada waktu itu beliau memberi pengajian kitab Fathul Mu’in dan Fathul Qarib. Untuk pengajian kitab Fathul Mu’in dilaksanakan dua kali dalam sehari, yaitu pada pagi hari jam 09. 00 untuk santri dan umum; dan setelah Isya khusus untuk keluarga. Beliau juga merupakan sosok yang sangat telaten terhadap santri dan disiplin (istikamah) dalam waktu. Biasanya, beliau melakukan salat Zuhur sekitar jam 03.00 Wis yang dilanjutkan dengan membaca aurad (wiridan-wiridan) hingga waktu salat Asar tiba. Setelah salat Asar, beliau mengadakan pengajian kitab Fikih, tauhid, dan kitab-kitab gramatika Bahasa Arab kepada khadimnya. Di sini terlihat, betapa Kiai Siradj juga sangat memperhatikan pendidikan khaddam-khaddam-nya. 

Sebagaimana lazimnya kiai zaman dahulu, Kiai Siradj juga mengajar mengaji al-Quran pada santri-santrinya. Ada seorang santri beliau tidak bisa-bisa mengaji al-Quran (tidak tepat-tepat). Oleh Kiai, santri itu disuruh membuka mulutnya lalu diludahi air kerak beliau. Ternyata setelah itu, santri tersebut bisa mengaji dengan tepat.  Sekitar pada tahun 1973 Kiai Cholil, kakak Kiai Siradj, pernah ingin memindah sebagian santri Sidogiri ke Beujeng. Karena pada waktu itu santri Sidogiri bertambah banyak dan beliau ingin membatasi hanya 500 orang. Tapi setelah beliau membicarakan pada Kiai Siradj, ternyata Kiai Siradj menolak, karena beliau juga tidak menginginkan santri banyak yang menyebabkan lebih besarnya tanggungan di akhirat. 

Di antara keistikamahan dan amaliyah yang dianjurkan oleh Kiai Siradj pada santri-santrinya adalah membaca al-Quran dan salat berjamaah.  

Kiai Kaya Ide, Penggagas Majelis Keluarga Sidogiri 

Meskipun Kiai Siradj telah mendirikan madrasah dan pesantren, dan mendapat kepercayaan untuk menangani urusan agama di Beujeng, beliau juga tetap aktif dalam menangani kepengurusan di PPS. Hal ini tidak dianggap berat oleh beliau, karena beliau mempunyai pedoman. ”Walaupun Sidogiri, kalau tidak mau diatur akan saya bubarkan. Sebab tanggungannya di akhirat”.   

Peran beliau di PPS cukup besar. Beliau adalah salah satu dari lima anggota Panca Warga (wadah permusyawaratan keluarga), yakni putra-putra KH. Nawawie bin Noerhasan bin Noer Khatim. Urutannya adalah (1) KH. Noerhasan, (2) KH. Cholil, (3) KH. Siradjul Millah-Waddin, (4) KA. Sa’doellah, dan terakhir (5) KH. Hasani. Beliau dengan keempat anggota Panca Warga yang lain selalu bahu-membahu dalam menangani urusan pesantren. Dalam Panca Warga tersebut, terdapat dua dari mereka yang paling muda yaitu Kiai Sa’doellah dan Kiai Hasani. Bila ada hal-hal yang berkaitan dengan masalah pesantren, keduanya selalu minta restu pada Kiai Siradj. Kiai Siradj juga pernah menjadi pengasuh PPS.  

Kiai Siradj juga dikatakan pernah menjabat sebagai Ketua Umum, yang sangat sukses pada masanya. tidak ada perkelahian dan pencurian yang dilakukan oleh santri pada masa kepemimpinan beliau. Setelah beliau hijrah ke Beujeng, yang menggantikan kedudukannya selaku Ketua Umum adalah KH. Kholili Susukanrejo. 

Dalam memimpin roda kepengurusan, Kiai Siradj tidak serta merta bertindak secara otoriter. Musyawarah mufakat adalah jalan yang ditempuh bila ada masalah. Bahkan beliau memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk melaksanakan program pesantren dengan sebaik-baiknya. Beliau menganggap pengurus yang ada seperti anaknya sendiri, jika terdapat kesalahan pada mereka beliau tidak pernah berbuat kasar. Beliau juga sering bergurau dengan bawahannya. Tak jarang dari gurauan beliau terinspirasi suatu program dan suatu konsep dalam PPS. Konon, sebagian besar program-program PPS bersumber dari kiai visioner dan kaya ide ini. Program-program tersebut di antaranya adalah: 

Kabag Ubudiyah dan Kabag Taklimiyah

Beliau sangat mengharapkan terciptanya suasana ta’abbud dan ta’lim (kegiatan ibadah dan belajar) di pesantren. Karena pada waktu itu -ketika beliau masuk ke wilayah pesantren- suasananya sepeti pasar yang penuh dengan hiruk-pikuk, yang dibicarakan hanyalah masalah tanak (memasak), belanja dan lain-lain. Akhirnya, melalui proses dan pembenahan dengan musyawarah bersama Panca Warga, terbentuklah Kabag. (kepala bagian) Ubudiyah dan Kabag. Ta’limiyah.

Pengajian al-Quran Pengurus

Kiai Siradj juga pencetus pengajian al-Quran untuk pengurus pondok yang diasuh oleh KH. Bashori Alwi Singosari, Malang. Mulanya, Kiai Bashori sendiri yang hadir ke pondok, dan tempatnya -pada waktu itu- terletak di dalemnya Kiai Cholil, di sebelah utara masjid Sidogiri. Tetapi karena tidak efektif, dikarenakan kebanyakan anggota pengajian al-Quran itu mempunyai kesibukan di pondok, akhirnya diputuskan bagi yang mengikuti pengajian al-Quran diharap untuk pergi ke Singosari, dalem Kiai Bashori.  

Pemberantasan Mutamarrid 

Beliau berkeinginan memberantas praktek mutamarrid (penyimpangan seksual) dengan cara dibuatkan undang-undang pelarangannya dalam UUD PPS, yakni Pasal II ayat 11. Juga beliau sendiri yang memberikan istilah mutamarrid bagi orang yang melakukan perbuatan yang tidak semestinya itu Istilah tersebut mungkin diambil dari kata Amrad jamil (anak lelaki tampan). Tapi kata mutamarrid sendiri adalah definisi dari kata Syaithan dalam kitab Tafsiru Ba’dli Ayat al-Ahkam. Mengapa Syetan diartikan mutamarrid? Sebab kata itu dibuat dari kata syathana (Arab) yang bermakna ba ‘uda (jauh). Artinya, orang yang mutamarrid itu akhlaknya telah jauh dari kebaikan. Agaknya, secara tidak langsung Kiai Sirardj menyamakan pelaku mutamarrid dengan setan.  

Penyimpanan Uang PPS 

Kiai Siradj juga ikut menangani keuangan. Ceritanya, pada waktu itu PPS diributkan dengan masalah keuangan, lalu Kiai Siradj ikut menangani hal ini. Beliau mengusulkan agar membuat tempat uang di kantor PPS dan dibelikan lemari besi. Kebetulan yang membuat tutupnya -yang terbuat dari corcoran– adalah Mas Abdullah, putranya sendiri. Sedangkan yang menjadi pengurus pada waktu itu adalah Mas Ghozi bin Noerhasan bin Nawawie. Beliau menyuruh kepada Mas Ghozi supaya meletakkan lemari besi ke tempat yang sudah dibuat sebelumnya, kemudian diberi tiga kunci. Masing-masing dipegang oleh Kiai Sirardj, Mas Ghozi dan bagian keuangan. Tujuannya, setiap membuka lemari uang, tiga orang itu harus berkumpul, dan jangan sampai masalah keuangan dipegang oleh satu orang. 

Kesejahteraan (Bisyarah) Guru dan Pengurus  

Kiai Siradj adalah orang pertama yang menggagas adanya pemberian kesejahteraan (bisyarah) kepada guru dan pengurus PPS. Beliau memperkirakan kebutuhan sehari-hari mereka yang disesuaikan dengan anggaran pondok yang ada. Yang sudah berkeluarga dibedakan dengan yang belum berkeluarga. Sebelumnya yang ada hanyalah HR (honor) yang jumlahnya hanya ratusan Rupiah. Beliau sangat memperhatikan kesejahteraan mereka karena dalam pandangan beliau, mereka adalah wakil Masyayikh dalam mengemban amanat untuk memberikan pendidikan pada santri dan segala sesuatu yang ada hubungannya dengan kebutuhan santri yang ada di pesantren. 

Ide ini murni dari Kiai Siradj. Dan yang menerapkan konsepnya adalah Ketua I, yang ketepatan pada waktu itu dipegang oleh Ust. H. Mahmud Ali Zain. Mulanya beliau memulai mengakad (persetujuan) pengurus harian yang ada dan dipanggil satu persatu ke kediamannya yang ada di Beujeng. Mereka diminta kerelaannya apabila bisyarah yang diberikan masih kurang memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Setelah itu pengurus sebagai wakil dari Kiai Sirardj mengakad  bawahannya seperti halnya yang dilakukan oleh beliau. 

Permasalahan gaji yang diberikan kepada guru pada waktu itu dipertegas oleh Kiai Sirardj: Apakah gaji yang diterima oleh guru itu adalah honor? Jika demikian, maka tidak sesuai dengan husnul khuluq karena mengajar itu adalah ibadah. Tapi karena santri membayar dalam mengenyam pendidikan dan uangnya harus dibagi-bagi, maka harus dibagi pula pada para guru. Pada akhirnya gaji yang diberikan pada guru itu diberi nama ‘bisyarah’.  

Kiai Siradj sangat menganjurkan kepada para para guru agar aktif dan tepat waktu dalam mengajar, serta guru itu harus memberi uswah hasanah (contoh yang baik pada muridnya) menurut Kiai Siradj, guru itu harus diberi bisyarah sesuai dengan kebutuhannya agar mereka bisa ikhlas dan bertanggung jawab penuh sehingga sukses dalam kegiatan belajar mengajar. Bila ada guru yang baru diangkat dengan resmi. Begitu juga sebaliknya, kalau ada yang diberhentikan, harap diberhentikan dengan resmi pula. Selain itu, menurut kiai Siradj harus ada pengetatan masa jabatan guru. Kiai Siradj juga berperan dalam dalam pendirian Madrasah Aliyah Tarbiyatul Muallimin (ATM) yang berlanjut hingga sekarang.

Guru Tugas dan “Ayat Lima”  

Beliau juga menjadi Penanggung jawab Urusan, Guru Tugas (UGT). Setiap kali ada permasalahan yang ada hubungannya dengan guru tugas dan pengontrolannya, beliau ikut terjun memberikan penanganan. Ketepatan yang menjadi sopir beliau adalah putra beliau sendiri, yakni Mas Abdullah, dengan menggunakan mobil Mas Abdullah sendiri. Segala kebijakan yang ada hubungannya dengan Guru Tugas (GT) ditangani oleh beliau sendiri. Beliau sangat memperhatikan masalah GT. Mengenai hal ini, Beliau pernah dawuh Sing gatekno (iku) pentingno”. Artinya permohonan GT yang sanggup bertanggungjawab penuh, itu yang harus diprioritaskan mendapat GT. 

Beliau juga memberikan ijazah amalan kepada seluruh santri yang akan berangkat tugas berupa bacaan “Ayat Lima”. Pelaksanaannya ketika bulan Ramadlan, Ketua I meminta kepada beliau agar memberikan perbekalan batin kepada calon gutu tugas, akhirnya beliau memberikan “Ayat lima” tersebut. Dan yang diminta menulis pada waktu itu adalah Ust. Masruhin Pasrepan Pasuruan. Beliau menulisnya dengan cara di imla’ langsung dari Kiai Siradj. Itu adalah amal-amalan yang diberikan terakhir kalinya oleh Kiai Siradj terhadap santri-santrinya. 

Disadur dari Buku Jejak Langkah Masyayikh Sidogiri Jilid 1

KH. Siradjul Millah Waddin Bagian III-Selesai

Shares:
Show Comments (0)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *