Friday Forum yang diadakan Annajah Center Sidogiri (ACS) dengan tema, “Toleransi Kebablasan” mengandung kesan tersendiri. Mengingat, acara ini melibatkan delegasi dari pesantren lain dan beberapa utusan dari kelas ACS. Termasuk dari Lembaga Penelitian dan Pengembangan (Litbang) ACS.
Laporan: Muhammad ibnu Romli
Sebelum hari H, panitia memberikan kebijakan untuk mengumpulkan artikel terkait tema. Perwakilan Litbang mengirimkan satu artikel dengan judul Kronologi Toleransi Kebablasan. Perkiraan sepuluh ribu karakter tanpa spasi. Kalau diprin dengan format ukuran font 12, menggunakan kertas folio bisa mencapai lima lembar.
Anda bisa membaca artikelnya
di sini
Gelar wicara ini di mulai dengan presentasi satu-persatu. Perwakilan Litbang mendapat giliran kedua, setelah dari perwakilan semester II bicara.
Dimulai dengan mengutip keterangan yang ada di Tafsir ar-Razi mengenai hubungan seorang muslim dengan non-muslim.
“Imam ar-Razi membagi tiga, terkait hukum intraksi antar umat beragama. Diperbolehkan, bila sebatas intraksi baik (mu’asyarah jamilah). Bisa kafir bila sampai meyakini dan rela kekafirannya. Yang ketiga, diantara keduanya; tidak sampai kafir, hanya saja dilarang (manhiyyun ‘anhu). Hukum ketiga ini apabila dalam hubungan keduanya sampai ada kecondongan hati atau rasa cinta kepada mereka,” terang pria dengan nama pena Miromly Attakrinya, saat mempertanggungjawabkan artikelnya di Friday Forum, malam Jumat (23/01).
Infografis Hukum Toleransi
Lalu, pria kelahiran Bangkalan ini memberikan batasan tertentu dalam bertoleransi, seraya mengklaim bahwa semua toleransi sebenarnya baik. Namun, bila melewati batas, itu namanya sudah bukan toleransi.
“Ancap kali saya jumpai kata tasamuh dan semacamnya, tiap membaca bab mu’amalah dalam kitab-kitab fikih. Dalam Islam, tidak ada pensyaratan harus beragama Islam dalam masalah transaksi. Yang ada hanya dalam kasus penjualan mushaf. Kenapa dibatasi? Lantaran mushaf itu bukan buku sembarangan yang bisa dipegang sembarang orang. Jangankan membeli memegangnya saja harus suci. La yamassuhu illal-mutahharun, tidak boleh menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci. Baik dari hadas, mau pun besar. Tentunya, orang Islam. Mana mungkin orang non-muslim bisa suci dari keduanya. Nah, dari sanalah, menjual mushaf dan sesamanya kepada orang orang non-muslim sudah dinilai ihanah dan kelewatan batas, lantaran menerjang hukum-hukum agama yang sudah baku,” terangnya dengan jelas.
Pria yang tidak lain merupakan Pemimpin Redaksi sidogiri.net ini juga menjelaskan bahwa ada pengkaburan makna toleransi. Menurutnya, banyak ideologi pluralisme agama dianggap toleransi. “Itu salah besar,” tegas pria yang berasal dari Pulau Garam ini.
“Seringkali kaum pluralis membawa-bawa ayat lakum dinukum waliya din sebagai “pelindung buatan” mereka. Ayat itu dianggap sebagai legalitas dari agama untuk pandangan mereka: tidak ada kebenaran yang mutlak, alias tergantung penganutnya,” ungkap pria yang juga menjadi penulis lepas di annajahsidogiri.id ini.
Sambil menikmati beberapa camilan, pria kelahiran 2002 M ini menambahkan, “Dugaan kau pluralis itu tidak benar. Bahkan ayat tersebut menjadi senjata yang siap memakan mereka sendiri. Lihatlah asbabunnuzul surah al-Kafirun dalam tafsir at-Thabari. Beliau mengutip dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ayat tersebut turun lantaran melarang nabi untuk mengiyakan ajakan orang Quraisy untuk saling bergantian menyembah tuhan. Misal, hari ini orang Quraisy menyembah Allah, hari berikutnya Nabi Muhammad menyembah berhala. Ini asbabunnuzulnya. Jelas, dengan ayat ini malah membantah kaum pluralisme yang mengatakan semua agama benar. Dengan ayat ini, malah menjelaskan bahwa agama yang benar hanyalah Islam, dan melarang untuk terlalu “menghormati” orang non-muslim dengan menyembah berhala mereka,” pungkasnya.
Infografis Surah al-Kafirun
Selain menyebutkan batasan, pria yang juga aktif di Lajnah Murojaah Fiqhiyah (LMF) ini juga mencontohkan toleransi Nabi Muhammad kepada umat agama lain.
“Nabi Muhammad SAW mencontohkan toleransi dengan sangat bagus. Seperti hadis yang diriwayatkan Sahabat Anas RA, beliau mengisahkan: Ada anak laki-laki Yahudi, pelayan Nabi SAW jatuh sakit. Nabi SAW menjenguknya. Beliau duduk di sisi kepala anak itu dan bersabda, “Mari masuk Islam.” Anak itu pun menatap ayahnya yang ada di sampingnya. Ayahnya engatakan, “Taatilah Abul Qasim (Nabi Muhammad).” Lalu, anak itu masuk Islam, Nabi SAW keluar seraya bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka,” ujar pria yang juag menjadi Wakil Sekretaris Komisariat Bangkalan ini dengan mengutip salah-satu hadis Imam Bukhari.
“Selain itu banyak kisah lain yang mencerminkan belas-kasih Nabi Muhammad SAW kepada orang yang beda agama. Semisal, nabi menjenguk orang kafir yang selalu meludahinya, menyuapi orang buta yang selalu mencaci-makinya, dan banyak kisah lain tentang hubungan harmonis nabi dengan penganut agama lain yang masih hidup,” tambahnya dalam artikel yang dipresentasikan.
Infografis Friday Forum dalam Angka
Uniknya, dari cerita nabi yang disampaikan, tidak hanya toleransi nabi kepada orang non-muslim yang masih hidup. Pria yang juga menjadi editor Jurnalistik Santri ini menceritakan toleransi nabi kepada jasad non-muslim yang sudah mati.
“Jangankan yang masih hidup, sudah mati pun tetap beliau hormati. Seperti hadis yang diceritakan dari sahabat Abdurrahman bin Abi Layla, yang mengatakan suatu saat ada jenazah lewat di Qadisiyah. Di sana ada Sahl bin Hunaif dan Qais bin Saad. Keduanya sontak berdiri. Lalu ada orang melarang, lantaran jenazah tersebut non-muslim. Akhirnya keduanya menjelaskan: “Rasulullah SAW pernah berdiri saat ada jenazah lewat. Ada orang yang memberi tahu, ‘Jenazah tersebut orang yahudi.’ Beliau menjawab, “Bukankah dia juga manusia”,” kutipnya dari Sahih Muslim.
“Bila Anda mendapat hal baru hari ini, jangan lupa share kepada saudara seiman.”
Semoga manfaat dan berkah!
[…] di sini Post Views: 31 share to […]
[…] klik di sini Post Views: 1 share […]
[…] Laporan: Muhammad ibnu Romli […]
[…] Baca juga: Begini Toleransi! […]