BeritaUnggulan

Sinar Redup Sastra Sidogiri

Acara perdana yang diadakan Majelis Sastra Sidogiri (MASASI) dua tahun silam.

Laksana lilin dalam gelas, sastra Sidogiri mulai mati. Masasi hendak mengangkat gelas itu. Namun, sebelum terangkat, Masasi menghilang entah kemana. Masihkah api sastra bertahan?

Laporan: Muhammad ibnu Romli

Berbicara perihal bangkit-runtuh sastra di Sidogiri, kami menemui saksi sejarah yang masih berstatus santri aktif Pondok Pesantren Sidogiri. Bin Damiri, namanya. Setelah menghirup aroma secangkir kopi di hadapannya, beliau menjelaskan, “Meninjau perkembangan, santri di sini memiliki potensi yang lebih besar ketimbang pelajar selain pesantren. Namun, kekurangnnya hanyalah sosok yang sanggup untuk mengayomi.”

Sambil menunjuk ke arah saya, santri berdarah Camplong, Sampang ini melanjutkan, “Kamu ingatkan? Tahun lalu, sempat ada Masasi yang ingin menyatukan semua sanggar yang ada di Sidogiri. Namun, sehabis satu acara, majelis tersebut juga turut habis, dengan beberapa kendala.” Saya pun teringat sangat, tepat setahun lalu. Muktafi Kafi, Bangkalan mengundang seluruh pemimpin sanggar ke rumah dinas, guna menjalankan kelas sastra di Sidogiri.

Setelah konsep rampung, Masasi ingin mengadakan acara perdana sekaligus louching konsepnya. Sebagai tampilan perdana, Sanggar Iqra’ menampilkan puisi berjemaah, sebagai acara pembuka. Deklarasi puisi dikuasai Sanggar Tobung. N. Shalihin Damiri, dari Sanggar Kun berencana menampilkan puisi bergenre monolok. Sayang, santri berinisial Bin ini berhalangan. Hadir sebagai sambutan, Muhammad Ibnu Salam dari Sanggar Pelangi, dengan membaca puisi sekalugus motivasi. Usai acara, Masasi tak ada kabar.

Hingga tahun ini, Masasi tetap bungkam. Ditambah lagi dengan Muktafi Kafi yang sedang tugas ke Jember. Sebelum Masasi berdiri, acara yang bertajuk Ngaji Puisi yang dituanrumahi Sanggar Iqra’ menjadi batu pertama. Turut meramaikan kala itu, Sanngar Hijrah, Sanggar Tobung dan Sanggar Tajribat.

Jauh sebelum itu semua, Sanggar Inspirasi yang diprakarsai Ust. Fadhoil Khalik dan kawan-kawan hadir sebagai majelis sastra perdana di Sidogiri. Upaya alumni bernama pena Afak akram ini tidak sia-sia. Beliau sempat melahirkan antologi puisi, yang diterbitkan di Balai Pustaka. Disusul dengan antologi cerpen, adikarya prajurit Sanggar Kun.

Kemajuan semacam itu terbilang sangat cepat. Sastra sangat berkaitan dengan pesantren. “Kata sastra bermakna keindahan. Pencari ilmu, konon dipanggil sastri, sang pencari keindahan. Untuk membedakan pelajar salaf dengan formal, Sunan Ampel merubahnya menjadi santri,” terang d. Zawawi Imran saat mengisi Ngaji Sastra di Sidogiri, dua tahun lalu.

Shares:
Show Comments (0)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *