Nyantri di Sidogiri
Menurut riwayat, tanah Sidogiri banyak disinggahi para ulama pengelana untuk menjajal tanahnya yang ber-barokah, walaupun masih harus berjuang melawan makhluk-makhluk halus penghuni tanah Sidogiri. Di antara mereka ada yang kemudian menetap hingga wafat dan dimakamkan di sana, sedangkan yang lain ada yang hengkang karna tidak tahan dengan gangguan jin dan makhluk halus lainnya.
Pada awal abad ke-18, di tanah tersebut mujahid agung Sayid Sulaiman mendirikan Pondok Pesantren Sidogiri (PPS). Keberhasilan dan kealiman Sayid Sulaiman mengundang decak kagum banyak orang untuk menimba ilmu darinya. Sepeninggal beliau, PPS tetap eksis. Dan seiring dengan usianya yang beranjak tua, nama Sidogiri kian tenar. Banyak orang berdatangan ke sana untuk menuntut ilmu, di samping juga untuk mencari faktor lainnya, yaitu barakah. Di antara mereka adalah Kiai Noerhasan bin Noerkhotim, yang di kemudian hari menjadi pengasuh di sana.
Maka berangkatlah Noerhasan muda menuju Sidogiri. Saat itu, menurut riwayat yang masyhur, yang menjadi pemangku PPS adalah Kiai Mahalli, menantu Kiai Aminullah. Setibanya di Sidogiri, Noerhasan dengan penuh semangat menuntut ilmu pada Kiai Mahalli. Semangat dan perhatiannya betul-betul dicurahkan untuk menuntut ilmu dan mengabdi pada Pengasuh. Ia mengikuti setiap pengajian kitab yang diasuh oleh Sang Pengasuh. Setiap wejangan dari Kiai, tak pernah ia lalui kecuali untuk diamalkan. Kedalaman ilmu yang sudah dimilikinya tak membuatnya jadi malas apa lagi sok merasa alim. Dialah sosok santri yang taat, tawaduk dan ramah hingga disenangi teman-teman santri lainnya.
Kiai Noerhasan sebelum nyantri di Sidogiri sudah dikenal alim. Di masa kecilnya, beliau banyak belajar pada orang tuanya sendiri, Kiai Noerkhotim. Disamping itu, ia juga rajin belajar secara otodidak. Sehingga ia begitu cepat menguasai pelbagai ilmu pengetahuan.
Antara Kiai Noerhasan dan keluarga PPS sebenarnya masih ada hubungan famili, yakni sama-sama keturunan Mbah Sayid Sulaiman, di mana Kiai Noerhasan adalah cucu Kiai Asror bin Abdullah bin Sulaiman. Tidak ada keterangan yang detail tentang sejarah Kiai Noerhasan ketika nyantri di Sidogiri, termasuk kepada siapa saja ia mengaji (berguru) serta teman-teman seperiodenya.
Diambil Menantu Kiai Mahalli (Kiai Musliman?)
Ketika mondok di Sidogiri, Kiai Noerhasan kian hari menunjukkan sifat dan perangai yang baik. Sifat tawaduk dan khusyuk yang dipadu dengan nilai-nilai tasawuf menjadi sifat yang melekat erat pada diri Noerhasan. Selama mondok, ia terkenal sebagai santri yang istikamah melaksanakan salat lima waktu dengan berjamaah. Dan walaupun sudah banyak menguasai pelbagai bidang keilmuan, ia masih saja tekun muthâla’ah, sehingga beliau menjadi santri yang ‘âlim ‘allâmah. Kepandaian dan kealiman yang dihiasi dengan tingkah laku indah, membuat Pengasuh pesantren menaruh simpati padanya. Walhasil, Noerhasan pun diambil menantu. Di samping itu, hubungan famili merupakan salah satu alasan untuk menyambung hubungan keluarga di antara keduanya.
Namun, terdapat perbedaan keterangan antara keterangan tertulis dengan keterangan dari banyak sumber mengenai siapa mertua Kiai Noerhasan, Kiai Musliman ataukah Kiai Mahalli? Dari catatan silsilah yang ada, disebutkan bahwa mertua Kiai Noerhasan adalah Kiai Musliman. Sedangkan dari keterangan lisan yang masyhur disebutkan bahwa Kiai Mahalli adalah mertua Kiai Noerhasan.
Dari perbedaan ini bisa ditarik kesimpulan ada dua kemungkinan. Bisa jadi mertua perempuan Kiai Noerhasan (yakni Nyai Hafshah binti KH Aminullah Sidogiri) menikah dua kali. Yakni dengan KH Mahalli lalu dengan KH Musliman, atau sebaliknya. Bisa jadi pula Kiai Musliman dan Kiai Mahalli adalah satu orang, yang menikahkan putrinya yang bernama Nyai Hanifah pada Kiai Noerhasan. (Tidak ada keterangan yang menjelaskan bahwa Kiai Noerhasan beristri dua kali). Jadi, kemungkinan “Musliman” adalah nama lahir mertua Kiai Noerhasan, sedangkan “Mahalli” adalah nama yang disandang setelah menunaikan ibadah haji.
Menurut sebagian riwayat, Nyai Hanifah pernah ditunangkan dengan Kiai Abu Dzarrin—yang menurut sumber lain pernah menjadi Pengasuh PPS sebelum Kiai Mahalli— namun pertunangan itu mengalami kegagalan, dan pada akhirnya Nyai Hanifah dinikahkan dengan Kiai Noerhasan.
Pasangan Kiai Noerhasan dan Nyai Hanifah dikaruniai enam orang anak, tiga laki-laki dan tiga perempuan. Yaitu (1) KH Bahar, (2) KH Dahlan, (3) KH Nawawie, (4) Nyai Munawwarah, (5) Nyai Fathonah, dan (6) Nyai Anisatun.
Konon, setelah Kiai Noerhasan tiga kali berturut-turut mendapatkan anak laki-laki (Kiai Bahar, Kiai Dahlan dan Kiai Nawawie), beliau menginginkan mendapat anak perempuan. Oleh karena itu, untuk memenuhi keinginan tersebut, beliau dianjurkan untuk mengikuti tradisi masyarakat setempat, yaitu saling tukar menukar cowek dan ulek-ulek dengan orang yang selalu beranak perempuan. Saran itu pun beliau laksanakan tanpa ada keyakinan terhadap esensi dari tradisi itu sendiri. Tak lama kemudian, ternyata Allah SWT. menakdirkan apa yang diinginkan Kiai Noerhasan, beliau mempunyai anak perempuan.
Berguru kepada Pengarang I‘ânatuth-Thâlibîn
Tidak ada keterangan yang jelas mengenai berapa kali Kiai Noerhasan pergi ke Makkah al-Mukarramah, baik untuk menunaikan ibadah haji maupun untuk menuntut ilmu. Yang ada adalah keterangan bahwa Kiai Noerhasan pernah berguru pada Sayid Abu Bakar Syatha, dan keberangkatan Kiai Noerhasan bersama Ny. Hanifah untuk menunaikan ibadah haji.
Selain nyantri di Sidogiri, Kiai Noerhasan juga pernah nyantri di Makkah al-Mukarramah. Di sana ia berguru pada Sayid Abu Bakar Syatha ad-Dimyathi, pengarang kitab fikih I‘ânatuth–Thâlibîn. Di antara teman-teman seperguruan Kiai Noerhasan adalah KH Ali Murtadho Tampung dan KH Abdus Syakur.
Ada cerita menarik antara Sayid Syatha dengan ketiga santrinya tersebut. Suatu ketika Sayid Syatha—yang mempunyai tiga putri berkata, “Hai santri-santriku, saya akan mengambil menantu satu di antara kalian bertiga. Dan yang akan saya ambil menantu dari kalian adalah Abdus Syakur. Sedangkan kalian berdua, Noerhasan dan Murtadho, saya doakan semoga punya anak keturunan yang alim-alim”. Tentu saja ketiga murid Sayid Syatha bertanya-tanya dalam hati, ada apa dibalik keputusan gurunya. Tapi tidak berani mengungkapkannya pada sang guru. Sementara Sayid Syatha sendiri tidak pernah memberi penjelasan.
Terjadilah pernikahan antara putri Sayid Syatha dengan Kiai Abdus Syakur. Ternyata tidak lama dari perkawinannya, istri Kiai Abd Syakur meninggal dunia. Lalu oleh Sayid Syatha dikawinkan lagi dengan putrinya yang kedua. Dalam waktu yang tidak lama pula, istri Kiai Abdus Syakur yang kedua juga meninggal. Lalu dikawinkan lagi pada putri yang ketiga yang bernama Syarifah Lu’luk. Dari istri yang ketiga inilah Kiai Abd Syakur mempunyai putri bernama Syaikhah, yang menurunkan putra KH Abd Djalil bin Fadlil Sidogiri.
Dari rentetan peristiwa itu, kemusykilan Kiai Noerhasan dan Kiai Ali Murtadho terjawab. Kemudian waktu pun terus berjalan. Atas kuasa Tuhan Yang Maha Esa, tiga sekawan itu pada akhirnya besanan semua. Putra Kiai Noerhasan (KH Nawawie) berjodoh dengan cucu Kiai Ali Murtadho yang bernama Nyai Nadhifah binti M. Nahrowi; sedangkan cucu Kiai Abd Syakur (Kiai Abd Djalil) berjodoh dengan cucu Kiai Noerhasan yang bernama Nyai Hanifah binti Nawawie.
Pengasuh Keempat atau Ketujuh?
Kiai Noerhasan adalah sosok santri yang alim, taat, dan disiplin. Selama mondok, beliau dikenal istikamah dalam berbagai hal, baik dalam hal ta‘allumiyyah (belajar) maupun ubudiyah (beribadah). Berjamaah dan muthâla‘ah (belajar) merupakan keistikamahan beliau yang tak pernah ditinggalkan, dan hingga saat ini pedoman tersebut terus dilestarikan sebagai penerapan ilmu dan amal santri-santri Sidogiri.
Sifat wara’, tawaduk dan istikamah sudah menjadi ciri khas kiai terdahulu, tak terkecuali Kiai Noerhasan. Selama nyantri di Pondok Pesantren Sidogiri (PPS), Kiai Noerhasan tersohor dengan budi perangainya yang luhur. Budi luhur ini terus melekat pada diri Kiai Noerhasan walau sudah menjadi bagian dari Keluarga Pesantren (diambil menantu kiai). Kedalaman ilmu yang dipadu dengan budi perangai luhur, membuat keluarga dan santri menaruh banyak harapan darinya. Hingga suatu ketika terjadi kekosongan pengasuh, beliaulah yang kemudian menjadi pilihan sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri.
Ada beberapa versi mengenai urutan berapakah kepengasuhan Kiai Noerhasan. Menurut salah satu versi beliau adalah pengasuh ke-IV, dengan urutan (1) Sayid Sulaiman, (2) KH Aminullah (3), KH Mahalli, dan (4) KH Noerhasan bin Noerkhotim.
Versi lain menyebutkan bahwa Kiai Noerhasan adalah Pengasuh ke-VII, dengan urutan (1) Sayid Sulaiman, (2) KH Aminullah, (3) KH Abu Dzarrin, (4) KH Mahalli, (5) KH Utsman, (6) KH Husain, dan (7) KH Noerhasan bin Noerkhatim. Bahkan ada sumber lain yang menyebutkan bahwa beliau adalah pengasuh ke-III atau ke-VI dengan mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa Kiai Aminullah adalah pengasuh yang pertama.
Menurut versi yang pertama, berarti Kiai Noerhasan menjadi pengasuh melanjutkan kepengasuhan Kiai Mahalli, mertuanya sendiri, walaupun saat itu ada KH Oerip bin Mahalli, putra pengasuh sebelumnya.
Rahasia di Balik Kepengasuhan
Sejak dahulu, pengasuh PPS sering kali dipegang oleh menantu. Sebut saja Kiai Aminullah adalah menantu Sayid Sulaiman; kemudian dilanjutkan Kiai Mahalli, menantu Kiai Aminullah; demikian juga Kiai Noerhasan adalah pengasuh yang notabene adalah menantu Kiai Mahalli. Bahkan kepengasuhan Sidogiri pernah dipegang oleh santri atau ulama lain, seperti Kiai Abu Dzarrin, Kiai Utsman, dan Kiai Husain.
Baru pada masa KH Cholil Nawawie dan setelahnya, kepengasuhan Sidogiri tidak dipegang menantu dan dibantu Panca Warga (saudara-saudara pengasuh, putra-putra Kiai Nawawie), yang kemudian dilanjutkan Majelis Keluarga Sidogiri (sepupu-sepupu pengasuh, cucu-cucu Kiai Nawawie).
Dengan sistem kepengasuhan seperti di atas, dimana yang menjadi pengasuh tidak harus putra pengasuh sebelumnya, menunjukkan bahwa kepengasuhan sebuah pesantren tidak harus diperebutkan. Hal ini memberi kesan yang sangat mendalam bahwa pesantren bukanlah sistem kerajaan yang harus dilanjutkan oleh putra mahkota. Di samping saling mengalah dan tidak mau menjadi pengasuh merupakan ciri khas kiai-kiai Sidogiri.
Merintis Pengajaran Kitab-Kitab Besar
Pada awal-awal penyebaran Islam di Pulau Jawa, sistem dakwah yang diterapkan adalah melalui cara halus dan beragam pendekatan bertahap. Demikian juga pada awal-awal berdirinya PPS. Sistem pengajarannya bertahap, mulai dari pendekatan emosional dan pengenalan dasar-dasar ajaran Islam, kemudian pengenalan teori, hingga berkembang pada pendalaman teori.
Pada masa Sayid Sulaiman dan Kiai Aminullah, setelah mengenalkan dasar-dasar ajaran Islam, tentunya pengenalan teori yang dilakukan masih berkisar pada pengajaran kitab-kitab kecil. Baru setelah beberapa lama kemudian, ketika para santri sudah cukup siap untuk betul-betul mendalami ajaran agama, maka diperlukan kiranya pembelajaran ilmu alat (tata bahasa Arab), sebagai sarana untuk mengenal ajaran dan pengetahuan Islam lebih mendalam.
Baru setelah melewati masa hampir satu abad, yang diyakini pada masa Kiai Noerhasan menjadi Pengasuh, dimulailah pengajaran dengan menggunakan kitab-kitab besar, yang meliputi Ihya’ Ulumiddin, Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan lain sebagainya.
Masa Kiai Noerhasan bertepatan dengan abad revolusi keagamaan besar-besaran, di mana saat itu banyak dari jemaah haji Indonesia yang menetap di Makkah untuk belajar dan mendalami agama dari sumber aslinya, walaupun sebenarnya pemerintah Belanda sangat getol menghalangi jemaah haji dengan pelbagai peraturan yang mengikat.
Dengan demikian, masa-masa kepengasuhan Kiai Noerhasan merupakan masa-masa transformasi pengajaran keagamaan, dari pengajaran kitab-kitab kecil menuju pengajaran kitab-kitab besar. Pada masa itu pula santri yang belajar dari luar daerah mulai banyak berdatangan. Pengajaran kitab-kitab besar sangat berdampak positif bagi perkembangan dan kemajuan intelektual santri, hingga melahirkan kiai-kiai besar yang berkompeten di bidangnya masing-masing.
Pengajaran kitab-kitab besar di PPS yang dirintis Kiai Noerhasan banyak menarik santri pesantren lain untuk juga mengaji ke Sidogiri. Saat itu PPS memang masih berupa pesantren kecil dengan sedikit santri, sedangkan beberapa pesantren lain di Pasuruan sudah berupa pesantren besar dengan jumlah santri yang juga besar, seperti Cangaan dan Keboncandi. Namun karena PPS mengajarkan kitab-kitab besar, maka santrisantri pesantren lain juga ikut mengaji ke Sidogiri.
Di antara santri Sidogiri semasa kepengasuhan Kiai Noerhasan bin Noerkhotim adalah KH Cholil Bangkalan. Kiai Cholil tidak menetap di Sidogiri, namun tinggal di Keboncandi Winongan, kurang lebih 20 km dari Sidogiri.
Setiap kali berangkat mengaji ke Sidogiri, beliau membaca Surah Yasin 20 kali, sesuai jumlah pepohonan yang dilaluinya. Sepulangnya dari Sidogiri juga membaca surah yang sama dengan jumlah yang sama ditambah 1 kali lagi di Warungdowo, hingga genap 41 kali.
Kiai Cholil merupakan sosok kiai yang berhasil menumbuh kembangkan kiai-kiai besar yang tersebar di banyak pelosok negeri, seperti KH Hasyim As’yari pendiri NU. Tak heran kalau Kiai Cholil Bangkalan sangat terkenal di kalangan masyarakat pesantren Indonesia hingga Saudi Arabia. Kiprah Kiai Cholil ini, tak lepas dari didikan Kiai Noerhasan sewaktu ia belajar ke Sidogiri.
Metode Pengajaran Kiai Noerhasan
Pada zaman penjajahan kolonial Belanda, metode pengajaran yang dipakai dalam sebuah komunitas pesantren umumnya adalah beberapa metode sederhana, seperti metode sorogan, wetonan/bandongan, dan lainnya. Pada masa itu belum dikenal sistem pendidikan agama seperti yang kita temukan pada zaman sekarang. Pembelajaran biasa dilakukan dengan metode sorogan. Yakni guru membacakan kitab, murid-murid mendengarkan, lalu murid mengulang bacaannya. Atau dengan metode wetonan, yakni guru membacakan kitab pada sekelompok murid, murid-murid membuka kitab dan menyimak dengan caranya masingmasing, sambil memberi makna miring (gandul) pada lafallafal dalam kitabnya.
Namun umumnya sang kiai selain membacakan kitab yang sedang disajikan juga tidak meninggalkan sajian-sajian yang bersifat wejangan (mau‘idhah hasanah). Sorogan dan bandongan disertai sedikit pemantapan wejangan adalah metode yang sudah lama diterapkan dalam kurikulum PPS khususnya, dan pondok pesantren lain pada umumnya.
Baru kemudian dalam kepengasuhan KH Abd Djalil bin Fadlil, PPS mengadopsi sistem pengajaran klasikal dengan mendirikan Madrasah Miftahul Ulum. Maksud dan tujuan didirikannya madrasah ini adalah sebagai sarana awal untuk bisa mengikuti pengajian yang diasuh langsung oleh Pengasuh.
Lanjut Bagian II: kh noerhasan bin noerkhotim kiai khumul berdarah madura bagian III
[…] Lanjut Bagian II: kh noerhasan bin noerkhotim kiai khumul berdarah madura bagian II […]